Sebagai penggemar kisah-kisah
detektif Hercule Poirot yang ditulis oleh Agatha Christie, novel “Tirai” (versi
aslinya berjudul “Curtain”) menjadi salah satu novel yang masuk dalam jajaran wish-list saya. Bagaimana tidak, novel
ini disebut-sebut sebagai novel terbaik Agatha Christie, yang telah selesai ia
tulis pada tahun 1940-an namun baru ia izinkan untuk diterbitkan 30 tahun kemudian,
yakni pada tahun 1975. Konon katanya, dalam kurun waktu 30 tahun tersebut
tulisan itu hanya ia simpan dalam Safe Deposit Box pribadinya (huwaaoooo :D ). Novel
ini juga merupakan novel yang mengangkat kasus pembunuhan terakhir yang
diungkap oleh tokoh detektif fiktif paaaaaling brilian yang pernah saya tahu,
Hercule Poirot, sebab di novel Tirai ini Agatha Christie akhirnya memutuskan
untuk ‘mewafatkan’ sang tokoh (*hiks).
Yap, setelah ngidam
bertahun-tahun karena nyari novel ini di semua perpus yang pernah saya datengin
gak pernah nemu,, temen-temen gak ada yang punya jadi gak ada yg bisa
dipinjemin (gak banyak juga sih yang sama2 suka Agatha Christie hehe),, berburu
di Senen juga gak ada,, bahkan sampai di Gunung A*ung pun udah gak dijual
(padahal disana masih dipajang 21 judul buku Agatha Christie yang lain hiks),,
iseng-iseng searching di Mbah Google eh Alhamdulillah ada yang mau jual
koleksinya ^o^
Saking
antusiasnya saya dengan novel ini, saya sampe janji kalau udah selesai
baca mau bikin reviewnya. Dan inilah perwujudan janji sayaaaa :D btw
baru sekali ini saya niat banget ngereview suatu novel, jadi harap
maklum kalo agak panjang :p
Mulai dari synopsis yang tertulis
di belakang novel :
Lima pembunuhan di tempat yang berbeda dengan motif yang berbeda ! Hanya satu persamaannya : X. X terlibat dalam kelima pembunuhan itu dan berada di sekitar lima tempat itu waktu pembunuhan terjadi. X-lah otak kelima pembunuhan itu. Tapi dengan liciknya dia berhasil menghindari hukum, menghindari kecurigaan orang. Kelima pembunuhan itu begitu sempurna ! Sekarang X berada di Styles. Berarti tak lama lagi akan ada pembunuhan di Styles.Baru kali inilah Poirot menemui lawan yang seimbang. Sayangnya Poirot sudah tua, jantungnya sudah lemah. Betul otaknya masih berjalan. Tapi tubuhnya sudah uzur dan jantungnya bisa berhenti berdenyut setiap saat. Hanya tinggal menunggu waktu. Dan waktunya yang singkat itu mungkin tak cukup untuk menuntut X ke pengadilan …
----KARYA AGATHA CHRISTIE YANG TERAKHIR DAN YANG TERBAIK ---
Begitu bunyi ‘pemanas’ di bagian
belakang novelnya. Makin bikin penasaran aja kan buat mulai baca? :D
Sebagaimana pada kisah-kisah
sebelumnya, pada kisah kali ini Poirot masih ditemani oleh sahabat setianya,
Kapten Hastings. Dari awal kisah, tampak sekali kalau Agatha Christie ingin
memberikan sebuah kisah yang ‘sangat sentimentil’ untuk penggemar setia Hercule
Poirot. Hal ini terlihat dari 2 hal, yang pertama dari pemilihan setting lokasi
cerita, yakni di desa Styles, salah satu desa yang dikisahkan berada di Essex,
Inggris. Pemilihan lokasi ini terkesan sentimental mengingat di desa yang sama
pula, kasus pertama Poirot terjadi (judul novel yang mengangkat kisah pertama
Poirot adalah Misteri di Styles). Hal ‘sentimentil’ kedua tampak dari pemilihan
setting waktu cerita. Pada novel Tirai ini, Poirot dikisahkan sudah berumur
sangat tua, bahkan ia dikisahkan menderita penyakit arthritis hingga tidak lagi leluasa bergerak. Namun, tentu
keterbatasan kemampuan fisik Poirot sama sekali tak menghalanginya untuk
menyelidiki kejahatan, sebab sejak dulu ciri khas detektif yang satu ini adalah
mengandalkan sel otak abu-abunya. Dia memecahkan setiap kasusnya dengan
menganalisis sisi psikologis tokoh-tokoh yang terlibat. Yang paliiing saya suka
adalah jawaban khasnya jika ia ditanya mengapa tidak berupaya mencari sidik
jari atau berusaha mengikuti jejak kaki, yakni “Hercule Poirot bukan anjing
pemburu, mon ami .“ Beda banget kan
sama detektif lain? :D *penilaian subjektif : harusnya Poirot lebih melegenda
dibanding Sherlock Holmes karena kualitasnya lewat jauuuh*.
Kisah “Tirai” ini pun dibuka
dengan kalimat yang, lagi-lagi, menurut saya makin menguatkan kesan
sentimentil, yaitu :
Siapa orangnya yang tidak merasa terkejut campur haru sewaktu dipertemukan kembali dengan kenangan lama yang menghimbau dan menyentuh perasaan? (Tirai, hal. 5)
Ya, begitulah bunyi paragraf
pembuka bab 1. Pada bab ini dikisahkan Poirot mengundang Hastings, kawan
lamanya, untuk bergabung berlibur dengannya di Styles. Sesampainya di Styles,
Poirot baru memberitahu Hastings bahwa sebenarnya ia tidak sedang berlibur di
Styles,melainkan sedang menyelidiki suatu kasus. Lantas, Poirot memaparkan
bahwa baru-baru ini terjadi 5 kasus kematian tak wajar pada waktu dan tempat berbeda
serta disinyalir dengan motif yang berbeda-beda pula. Sejauh ini, kelima kasus
tersebut bisa dikatakan telah ‘ditutup’ oleh Kepolisian, ada beberapa yang
dinyatakan sebagai pembuhan yang berakhir dengan penuntutan seseorang yang
dianggap polisi sebagai ‘pelaku’, ada yang dinyatakan sebagai kasus bunuh diri
sehingga ditutup begitu saja, dan ada pula yang dinyatakan sebagai
kelalaian/kecelakaan sehingga ‘pelaku’nya dibebaskan dari tuntutan hukum.
Namun, Poirot menganggap bahwa kelima kasus tersebut seluruhnya merupakan kasus
pembunuhan. Begini penjelasan Poirot kepada Hastings :
Ada seseorang… panggil saja dia X. Pokoknya dalam melakukan kelima pembunuhan itu, X sama sekali tidak mempunyai motif, tidak untuk kelima-limanya. Dalam salah satu perkara, sejauh yang ku ketahui, X memang sedang berada dua ratus mil jauhnya ketika pembunuhan itu terjadi. X pernah bersahabat erat dengan Etherington, X pernah tinggal sebentar di desa yang ditinggali Riggs. X pernah berteman dengan Bradley. Aku punya foto X dan Freda Clay yang sedang berjalan berduaan di jalanan, dan X juga kebetulan berada di dekat rumah Matthew Littcfield tua itu sewaktu dia terbunuh. Apa pendapatmu mengenai semua ini? (Tirai, hal. 29-30)
Nama-nama yang disebutkan oleh
Poirot di atas adalah nama orang-orang yang terbunuh atau tertuduh dalam kelima
kasus pembunuhan itu. Dan kabar mengejutkannya, saat ini X berada di losmen
tamu tempat Poirot dan Hastings menginap di Styles !!
Poirot menduga kuat bahwa X belum
akan berhenti pada pembunuhan ke-5, dan itu artinya kemungkinan besar akan
terjadi pembunuhan kembali di Desa Styles. Saya menilai, ide dasar Agatha
Christie untuk kisah Tirai ini sangat bagus dan cukup unik, yakni bahwa seorang
detektif yang handal seharusnya bukan hanya bisa mengungkap kasus yang telah
terjadi namun juga juga harus bisa mendeteksi adanya niat jahat seseorang
sehingga kejahatan tersebut bisa dicegah. Memang, ide ini sebelumnya sudah
pernah dipakai oleh Agatha Christie, tetapi bukan dalam bentuk 1 novel utuh
melainkan dalam kumpulan kisah-kisah pendek Hercule Poirot. Judul kisah
pendeknya adalah Sarang Lebah (terangkum dalam buku Poirot’s Early Cases). Setahu saya, baru pada kisah Tirai-lah
Agatha Christie menuangkan ide ‘detektif mencegah kejahatan’ ini utuh dalam
sebuah novel. Dan hasilnya?
Jujur, membosankan >,<
Bab-bab awal novel Tirai sangat jauh dari ekspektasi saya, sangat berbeda
dengan ke-brilian-an Agatha Christie mengolah kasus di novel-novel sebelumnya
(padahal kisah Sarang Lebah saya masukkan sebagai salah satu kisah Poirot yang paling
brilian dan saya mengira Tirai bisa lebih detail dan lebih brilian daripada
Sarang Lebah). Tempo cerita dalam kisah Tirai menurut saya terlaluuu lambat.
Lima kasus pembunuhan yang disebut-sebut di awal hanya dijadikan sebagai
‘pengantar’, tanpa diceritakan detail terjadinya, tanpa ada penceritaan pula
upaya apa yang telah dilakukan Poirot hingga ia berhasil mengetahui satu fakta
yang luput dari pengamatan polisi, yaitu bahwa ada seseorang bernama X yang
menjadi otak kelima pembunuhan tersebut. Setelah ‘pengantar’ itu, saya sebagai
pembaca merasa hanya diminta menanti dan menanti terjadinya pembunuhan yang
berikut seraya berusaha menebak siapakah gerangan X ini. Padahal, jelas-jelas
Poirot mengakui bahwa ia sudah mengetahui siapa X, hanya saja ia tidak mau
memberi tahu Hastings karena akan membahayakan keselamatan sahabatnya tersebut.
Untuk alasan yang satu ini, okelah saya bisa menerimanya, toh namanya juga
cerita detektif, pasti penjahatnya ‘disembunyikan’ sampai akhir cerita. Dan
memang, seperti di novel-novel sebelumnya, tokoh Hastings digambarkan memiliki
karakteristik yang terlalu polos dan terkadang meledak-ledak. Oleh karena itu,
jika Poirot memberitahukan siapa identitas X kepada Hastings saat ini, si-X
akan dengan mudah melihat dari mata dan gerak-gerik Hastings bahwa dirinya
sudah dicurigai, dan hal ini bisa menyebabkan si-X menjadikan Hastings target
pembunuhan berikutnya. Jelas, hal ini sangat tidak diinginkan oleh Poirot.
Mungkin timbul pertanyaan, kalau Poirot sudah
mengetahui siapa X, mengapa tidak ia seret saja langsung si X ke muka hukum,
ketimbang memilih menunggu terjadinya pembunuhan berikut. Untuk pertanyaan yang
satu ini, saya masih bisa menjawabnya. Bagaimanapun, untuk menyeret seseorang
ke pengadilan tentu harus berdasarkan bukti-bukti fisik yang jelas, sementara
Poirot menyimpulkan X sebagai pembunuh hanya berdasarkan analisis
psikologisnya. Disinilah satu lagi letak kekurangan novel Tirai menurut saya, Agatha
Christie kurang detail menggambarkan bagaimana Poirot bisa mengambil kesimpulan
ini, bagaimana Poirot bisa mengetahui bahwa si X ternyata berada di kelima
lokasi pembunuhan. Buat yang tidak mengenal tokoh Poirot, pasti akan menarik
kesimpulan tokoh ini digambarkan terlalu ‘dewa’, tanpa ada fakta-fakta yang
kuat koq bisa-bisanya menyimpulkan seseorang sebagai dalang dari kelima
pembunuhan. Akan lebih menarik kalau Agatha Christie menceritakan detail
fragmen-fragmen dari kelima pembunuhan ini di bagian awal, jadi pembaca tidak
hanya dibiarkan ‘menanti’ pembunuhan keenam. Intinya, pada bagian-bagian awal
cerita saya sangat bosan, hingga niat untuk menyelesaikan membaca novel ini
dalam satu malam pun tidak tercapai karena ternyata rasa kantuk saya lebih
besar dibanding antusiasme untuk mengetahui siapa si X :P
Well, meskipun begitu keesokan
harinya saya tetap lanjut membaca, entah karena sudah kadung membeli atau
memang benar2 terprovokasi oleh komentar2 para penggemar Agatha Christie lain
yang telah selesai membaca novel ini. Dan ternyata saya tidak menyesal :D
Memasuki bagian tengah, tepatnya mulai bab 9, ceritanya perlahan-lahan mulai
hidup. Hal yang diramalkan oleh Poirot nyaris terbukti. Salah seorang tokoh
wanitanya nyaris meninggal karena terkena tembakan yang dilepas oleh suaminya
sendiri. Peristiwa ini terjadi di siang hari bolong, dengan disaksikan oleh
lebih dari 1 orang, dan semua yang menyaksikan saat itu tahu bahwa sebenarnya yang
menjadi objek bidikan senapan oleh sang suami adalah seekor kelinci, tetapi
naas ternyata mengenai istrinya. Benarkah hanya sebuah ‘kecelakaan’? Faktanya,
beberapa jam sebelum kejadian, suami-istri itu kepergok sedang bertengkar.
Apakah sang suami adalah X yang dimaksudkan oleh Poirot?
Ceritapun terus bergulir. Tibalah
di salah satu fragmen yang paling saya suka, yakni saat Hastings begitu
terpancing emosinya kepada salah seorang tokoh pria yang diduga telah
‘mengganggu’ putrinya (dalam novel ini, dikisahkan putri Hastings telah
beranjak dewasa serta tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan cenderung keras
kepala). Saking emosinya, Hastings terpikir untuk meracuni sang pria. Nah, yang
bikin saya suka dengan fragmen ini adalah karena Poirot ternyata begitu
‘mengenali’ sahabatnya. Ia bisa membaca emosi Hastings, lantas mengambil
tindakan pencegahan dengan cara memberikan obat tidur kepada sahabatnya itu.
Hastings pun tertidur hingga keesokan paginya, dan saat ia terbangun ia
langsung sadar betapa bodohnya semalam bisa sampai terfikir niat meracuni
orang. Fragmen yang cukup manis menurut saya :’)
Namun, peristiwa selanjutnya,
Poirot ‘kecolongan’. Pada acara minum kopi bersama yang dihadiri oleh hampir
semua penghuni losmen, ada salah seorang tokoh wanita yang tiba-tiba sakit
keras dan meninggal pada pagi berikutnya. Penyebabnya : keracunan physostigmine. Untuk mengetahui siapa
yang membubuhkan racun tersebut ke dalam gelas kopi sang wanita, semua penghuni
losmen pun diperiksa oleh polisi setempat, tidak terkecuali Hercule Poirot.
Yang mengejutkan adalah Poirot memberi kesaksian bahwa sebelumnya ia melihat si
wanita membawa botol kecil. Mengingat reputasi Poirot sebagai detektif ternama,
maka polisi setempat akhirnya menyimpulkan bahwa ini adalah kasus bunuh diri (dari
kondisi psikologis wanita tersebut, kesimpulan ini juga memang memungkinkan).
Tapiiiiii, hal yang paling mencengangkan adalah saat Hastings mempertanyakan
kesaksian Poirot tersebut, Poirot dengan jujurnya mengakui bahwa ia telah
memberikan kesaksian palsu dengan tujuan sengaja mengarahkan opini polisi agar
menutup kasus ini, padahal Poirot juga yakin bahwa ini ada hubungannya dengan
X. Mengapa Poirot justru terkesan melindungi X? Siapakah sebenarnya X?
“Apakah X adalah putriku?”,
begitu pikiran yang sempat singgah di benak Hastings. Mengapa Hastings sampai
terpikir seperti ini? Sebab putrinya bekerja sebagai asisten suami wanita yang
terbunuh tersebut, dan bukankah tidak terlalu aneh jika antara seorang pria dan
asisten wanitanya terjadi affair?
Pikiran ini jelas begitu mencemaskan Hastings.
Jeng.. Jeng.. Jeeeeng… Lantas
bagaimanakah ending kisah ini? Benarkah X adalah putri Hastings ? :D
Yang pasti, sebelum identitas X
terungkap, kita masih akan disuguhkan dengan 1 kematian lagi di akhir cerita
ini *eh, 2 ding, hiks *. Yang pertama, seorang pria muda, ditemukan meninggal
dalam kamarnya dengan kondisi tertembak TEPAT di bagian tengah dahinya. Saat
ditemukan, pria tersebut sedang memegang pistol dan kamarnya dalam keadaan
terkunci, tapi berdasarkan hasil pemeriksaan sekilas saja seorang dokter bisa
mengetahui bahwa itu tidak mungkin kasus bunuh diri. Pria muda itu pasti
ditembak dalam keadaan telah meninggal lantas pistolnya sengaja diletakkan di
tangan si pria untuk memberi kesan bunuh diri. Dan kematian terakhir adalah
kematian sang hero kita, Hercule Poirot, murni akibat serangan jantung T__T.
Namun, sebelum Poirot meninggal, ia sempat memberikan rincian detail jawaban
atas teka-teki kasus ini kepada Hastings. Dan menurut saya, endingnya
benar-benar sangat klimaks. Ternyata X adalah pria muda yang ditemukan tewas
tertembak di kamarnya itu. Penyebab meninggalnya benar bukan karena luka
tembakan melainkan karena ia diracun oleh HERCULE POIROT.
Well, sejujurnya ini bukanlah ending yang menyenangkan untuk para pecinta Poirot, namun saya sendiri merasa cukup terobati dengan penjelasan brilian mengenai alasan mengapa Poirot memilih meracun X dan bagaimana ia melakukannya. Bahkan saya ketawa, ternyata dalam meracun pun Poirot tidak meninggalkan ciri khasnya : metodis, sombong, dan tetap tergila-gila akan kesimetrisan (lihatlah dimana ia menembak si X, tepat di tengah-tengah dahinya -___-). Mengenai mengapa koq Poirot tidak berhasil dalam menciptakan kesan X bunuh diri, konon kata si Agatha Christie hal ini memang disengaja oleh Poirot, karena pada dasarnya ia akan siap bertanggung jawab, bahkan sebenarnya ia sengaja memberikan ‘tanda’ siapa pelaku penembakan X dengan ciri khas simetrisnya tersebut.
Well, sejujurnya ini bukanlah ending yang menyenangkan untuk para pecinta Poirot, namun saya sendiri merasa cukup terobati dengan penjelasan brilian mengenai alasan mengapa Poirot memilih meracun X dan bagaimana ia melakukannya. Bahkan saya ketawa, ternyata dalam meracun pun Poirot tidak meninggalkan ciri khasnya : metodis, sombong, dan tetap tergila-gila akan kesimetrisan (lihatlah dimana ia menembak si X, tepat di tengah-tengah dahinya -___-). Mengenai mengapa koq Poirot tidak berhasil dalam menciptakan kesan X bunuh diri, konon kata si Agatha Christie hal ini memang disengaja oleh Poirot, karena pada dasarnya ia akan siap bertanggung jawab, bahkan sebenarnya ia sengaja memberikan ‘tanda’ siapa pelaku penembakan X dengan ciri khas simetrisnya tersebut.
Yah, kesimpulan saya, novel Tirai
ini merupakan novel yang unik. Saya yakin Agatha Christie sebenarnya mampu
membuat novel dimana endingnya Poirot berhasil mengungkap kejahatan X, lantas
menyeretnya ke pengadilan serta membiarkan hukumlah yang akan ‘membunuh’ X,
namun ternyata Agatha Christie lebih memilih ending yang berbeda. Sebuah bentuk
kebrilianan lain dari seorang Penulis, kalau boleh saya menjuluki pilihan ini
:’). Entah mengapa, saat membaca ending, saya justru berpikir kalau pilihan
Agatha Christie menjadikan Hercule Poirot sebagai seorang pembunuh di akhir
karirnya memiliki filosofi sifat ke-manusiawi-an yang sangat besar (bukan
kemanusiaan lho yaaa, tapi ke-manusiawi-an :D ), dimana sehebat apapun seorang
manusia ia tetaplah memiliki keterbatasan, tak selamanya kita selalu berhasil
melakukan ‘kebaikan’ dengan cara yang ‘baik’ pula. Dalam kisah ini, jelas
Poirot dihadapkan pada dua pilihan, membiarkan X tetap hidup dan bergentayangan
mencari korban-korban berikutnya atau mematikan X dan jiwa orang-orang yang tak
bersalah ‘relatif’ terselamatkan. Dan ternyata, Poirot memilih pilihan kedua.
Sebuah pilihan terbaik? Jelas saya tak bisa menjawabnya dengan kata “iya”, dan
saya senang Agatha Christie pun tidak berupaya berlebihan mengarahkan kita
untuk berfikir “ ya, inilah jalan terbaik, inilah jalan satu-satunya untuk
menghukum X”. Tidak, Agatha Christie sama sekali tidak berupaya untuk
mengarahkan pembacanya agar berpikir demikian. Agatha Christie bahkan tampak
sengaja memberi kesan bahwa ini adalah kasus Poirot yang GAGAL. Dan sekali
lagi, ada pesan “pengingat kelemahan sifat manusia” dalam ending novel ini.
Sebagai penutup review ini, saya
sarankan : JANGAN BACA NOVEL TIRAI SEBELUM MENGENAL HERCULE POIROT LEWAT
NOVEL-NOVEL LAINNYA, karena TIRAI hanya BISA DIPAHAMI oleh PECINTA PAPA POIROT
:’)
Jadi,, book meter untuk novel ini... hmmm, bingung -,- oke deh, untuk Eyang Agatha Christie, saya kasih :
Jadi,, book meter untuk novel ini... hmmm, bingung -,- oke deh, untuk Eyang Agatha Christie, saya kasih :
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komen :)