Om Tere harus tanggung jawab !!!
Lagi-lagi, dia berhasil membuat saya
tersedak menahan air mata, bahkan saat saya baru membaca beberapa lembar
halaman awal novelnya >,<
Gimana enggak?
00.00.00.
Timer bom itu sempurna menyentuh angka nol.
Dalam gerakan pelan yang menyakitkan, dalam gerakan lambat yang mengiris hati, aku harus menjadi saksi utuh seluruh kejadian itu. Sebelum Rossie terharu menerima tangkai bunga, sebelum Nathan mengacak bangga rambut Sakura dan Jasmine, terdengar dentuman keras !
Saya cukup sering mengatakan bahwa kekuatan
tulisan Tere Liye yang paling utama terletak pada kemampuannya menyajikan
cerita yang sebenarnya sederhana menjadi begitu emosional. Ia mengekspose
setiap detil adegan dengan begitu perlahan, tidak terburu-buru, hingga saya
sebagai pembaca selalu terbawa masuk ke dalam emosi para tokohnya. Contohnya?
Bisa dilihat pada blurb di atas. Blurb itu menggambarkan terjadinya bom
Jimbaran, Bali yang menjadi titik tolak setting cerita novel Sunset bersama
Rossie ini. Perlahan dan sangat personal sekali ya rangkaian katanya? :)
Apa? Biasa aja? Gak bikin nyesek, gak bikin
terharu baca blurb itu??
Hmm, wajar sih kalo cuma baca sepenggal,
tapi gimana kalo saya kasih tahu bahwa Rossie dan Nathan adalah sepasang suami
istri yang sedang merayakan ulang tahun pernikahan ke-13 mereka di Jimbaran,
bersama keempat anaknya yang bernama Anggrek (12 tahun), Sakura (9 tahun),
Jasmine (5 tahun), dan Lili (1 tahun). Lantas, saat matahari telah terbenam,
saat Sakura dan Jasmine bersiap memberikan hadiah kejutan berupa mawar biru
untuk ayah ibunya, saat itulah ledakan bom memutus segalanya. Jujur, kalo saya
sih paling gak kuat baca adegan keluarga yang bahagia tiba-tiba terputus
kebahagiannya karena suatu hal >,<
Dan yang unik, peristiwa
pengeboman ini diceritakan dari sudut pandang orang pertama, yaitu Tegar. Tegar
adalah sahabat Rossie dan Nathan, ia satu-satunya orang yang diundang mengikuti
perayaan ulang tahun pernikahan mereka melalui video-conference. Ya, Tegar memang tidak berada di Bali saat
ledakan bom terjadi, namun ia menyaksikan tragedi itu secara real-time lewat layar komputernya di
Jakarta! Jelas ia sangat syok, sambungan video-conference
terputus, dan layar komputer seketika hanya menampakkan tulisan error-connection. Terbirit-birit, Tegar
langsung menuju bandara dan mencari penerbangan yang bisa segera membawanya ke
Bali.
Bertitik tolak dari Bom
Jimbaran Bali inilah, kisah Sunset Bersama Rossie bergulir membentuk jalinan
kisah baru.
pict.source : goodreads.com |
Nathan tewas. Sementara Rossie dan anak-anaknya selamat, mereka
hanya mengalami lecet-lecet (*masa sih??agak sinetron nampaknya untuk bagian
yang satu ini*), kecuali Sakura yang mengalami luka cukup parah sehingga harus
diopname. Penggambaran adegan di rumah sakit ini juga lumayan menyesakkan buat
saya : Rossie yang terdiam bengong dan tak mau melepaskan pelukan pada jasad
sang suami, Anggrek yang terduduk memeluk lutut dan tanpa sadar mengguratkan
jemari kecilnya pada tegel rumah sakit,
serta Jasmine yang hanya bisa memeluk Lili. Adegan seperti ini jelas jauh lebih
menyesakkan dibanding adegan menjerit pilu yang biasa muncul di
sinetron-sinetron *eh.
Aku seketika terluka melihatnya.
Senyap sejenak.
“Nathan sudah pergi, Tegar”. Rosie berbisik lirih.
Aku kehilangan kalimat.Omong kosong kata-kata menghibur itu. Omong kosong kata-kata membesarkan hati itu. OMONG KOSONG! Segala kesedihan ini tidak akan mereda dengan segala kalimat memuakkan itu.Tiga belas tahun pernikahan yang hebat. Tiga belas tahun dengan kebahagiaan intensitas tinggi. Berakhir sepagi ini. Nathan pergi dengan kepala pecah.
Kehilangan orang yang
sangat dicintai, apalagi dalam waktu sangat mendadak, jelas gak perlu saya
ceritakan lagi bagaimana sedihnya. Permasalahannya adalah, suka atau tidak
suka, kehidupan harus tetap berlanjut bagi orang-orang yang ditinggalkan ini,
termasuk bagi Rossie dan anak-anaknya. Tanpa banyak membuang waktu, Tegar
memutuskan Nathan harus segera dimakamkan. Tegar membawa Rossie dan
anak-anaknya pulang ke kediaman mereka di Gili Trawangan, bersama jasad Nathan.
Hanya Sakura yang tetap ditinggal di Bali karena ia masih belum boleh keluar
dari RS. Setelah Nathan dimakamkan, Tegar memutuskan untuk tetap tinggal di
Gili Trawangan, mendampingi Rossie dan anak-anaknya melewati masa sulit itu.
Padahal, secara
kebetulan, hari saat pemakaman Nathan seharusnya menjadi hari pertunangan Tegar
dengan Sekar, kekasihnya. Namun tragedi yang tiba-tiba ini membuat Tegar sampai
melupakan acara tersebut. Ia baru ingat ketika Sekar dengan panik menelepon
bahwa keluarganya tengah menunggunya. Sekar memang belum mengetahui adanya
peristiwa pemboman karena sejak sehari sebelumnya ia begitu hectic mempersiapkan acara pertunangan
tersebut, sebuah acara yang akhirnya diminta Tegar untuk ditunda terlebih
dahulu. Untunglah Sekar mengerti, meski tak dipungkiri ada rasa was-was di
hatinya. Mengapa?
Karena Rossie adalah
cinta pertama Tegar !
Dan Sekar tahu hal itu. Rossie
dan Tegar bersahabat sejak masih kanak-kanak. Mereka menghabiskan masa kecil di
Gili Trawangan, salah satu anak pulau yang indah di gugusan utara pulau Lombok.
Setelah dua puluh tahun menjalin persahabatan semenjak masih bocah hingga akhirnya
sama-sama duduk di bangku kuliah, Tegar mulai menyadari bahwa ia mencintai
Rossie. Namun sayang, cinta itu tidak pernah terwujud.
Tegar terlambat
menyatakan cintanya pada Rossie. Ya, Nathan terlanjur mendahuluinya. Nathan
yang baru berkenalan 2 bulan dengan Rossie (itupun karena dikenalkan oleh
Tegar) ternyata juga mencintai Rossie.
Dua bulan miliknya setara dengan dua puluh tahun milikku? Bagaimana mungkin?
Setting pernyataan cinta Nathan kepada
Rossie sungguh romantis, yaitu di puncak Gunung Rinjani. Namun tentu setting
ini justru begitu memilukan bagi Tegar. Tegar-lah yang merancang pendakian ini.
Ia berencana menyatakan cintanya kepada Rossie di puncak Gunung Rinjani pada
saat matahari terbit, momen favoritnya. Ia sengaja mengajak Nathan, sahabat
terbaiknya, guna menjadi saksi pernyataan cinta tersebut. Ternyata Nathan
mendahuluinya. Nathan menyatakan cinta pada Rossie saat matahari terbenam,
momen favorit Rossie. Dan Rossie menerimanya.
Tidak, Nathan tidak berkhianat. Tegar
menyadari hal itu sebab memang ia sendiri belum pernah menceritakan pada Nathan
bahwa ia mencintai Rossie. Nathan hanya lebih beruntung, ia mendapatkan momen
yang lebih cepat ketimbang Tegar.Saking terpuruknya, Tegar memutuskan
untuk turun gunung tanpa memberi tahu Nathan dan Rossie, lantas ia memilih
hijrah ke Jakarta dan memutuskan komunikasi dengan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, waktu-lah
yang berbaik hati menyembuhkan rasa sakit hati Tegar.
Di tahun keenam, kejutan besar, Rossie dan Nathan tiba-tiba mengunjungiku di Jakarta. Entah bagaimana mereka tahu alamatku. … . Kesedihan itu. Kebencian itu. Aku kebas menahan marah, menerima kehadiran mereka di depan pintu apartemen. Tetapi ya Tuhan, keajaiban itu terjadi.
“Uncle, Sakura kebelet pup, kamar mandinya dimana?”, itu kalimat Sakura persis saat pintu terbuka.Hatiku sempurna meleleh.… . Anak-anak itu hanya membutuhkan hitungan detik untuk akrab denganku. Seperti mengenali sahabat terbaik ayah-ibunya. Dan demi itu semua, tiba-tiba aku menyesal dulu meninggalkan mereka tanpa pamit.Mereka sahabat-sahabat terbaikku. Mereka sungguh keluargaku. Memandang dan merasakannya dari sisi lain ternyata tidak kalah indah dengan semua pengharapan dulu. Tidak kalah indah dengan mimpi-mimpi yang kuanyam selama dua puluh tahun, mimpi-mimpi sepanjang masa remajaku.
Sejak itulah, Tegar kembali menjalin
persahabatan dengan Rossie dan Nathan yang telah menikah, bahkan kini jauh
lebih akrab. Tegar sekaligus menjadi ‘paman’ untuk keempat putri Rossie dan
Nathan. Satu detil unik disajikan Tere Liye terkait peran ‘paman’ ini, yaitu
masing-masing anak Rossie dan Nathan memiliki panggilan sayang khusus yang
berbeda-beda untuk Tegar, disesuaikan dengan karakter mereka.
Hanya Anggrek yang memanggil Tegar
sesuai yang diajarkan Nathan, Om.
Sakura yang memiliki karakter jahil
memilih memanggil Tegar dengan sebutan Uncle.
Sedangkan Jasmine yang cenderung
pendiam lebih suka memanggil Tegar dengan sebutan Paman. Menurutnya kata itu indah, dan ia berusaha mengajari Lili,
adik bungsunya yang belum bisa bicara, agar memanggil Tegar dengan sebutan itu
juga. Akankah Jasmine berhasil?? Sedikit bocoran, Lili ternyata memilih
panggilan yang berbeda ! Sebuah pilihan panggilan yang menjadi twist untuk ending kisah ini ;)
Ternyata pemilihan panggilan yang unik
pada salah satu tokoh bisa memberikan nuansa personal yang lebih dalam pada novel.
Sebuah detil kecil, tapi mampu memberikan nilai lebih yang cukup besar buat
saya dalam menilai novel ini.
Di saat ayah mereka telah tiada,
kehadiran Tegar jelas sangat mereka butuhkan. Inilah konflik yang cukup rumit
yang coba diangkat oleh Tere Liye. Tegar yang pernah bertahun-tahun tersiksa
karena patah hati, kini mencoba mendampingi Rossie dan anak-anaknya melawan
duka kehilangan Nathan. Awalnya, Tegar memprediksi masa duka itu akan berlalu hanya
dalam waktu 2 minggu, lalu selanjutnya Rossie dan anak-anak bisa melanjutkan
kehidupan mereka sendiri seperti Nathan masih ada, sehingga Tegar bisa dengan
tenang kembali ke Jakarta dan bertunangan dengan Sekar, cintanya saat ini.
Ternyata hal itu tidak semudah yang
dibayangkan. Rossie terlalu rapuh, ia mengalami depresi hebat hingga akhirnya
terpaksa dirawat di sebuah klinik psikiatri. Hal ini membawa duka tambahan
untuk anak-anak : ayahnya meninggal, sedangkan ibunya nyaris ‘gila’. Bagaimana
mungkin Tegar akan tega meninggalkan ‘keponakannya’ dalam kondisi semiris ini?
Akhirnya Tegar memutuskan meminta waktu lebih lama kepada Sekar.
Namun, bagaimanapun Sekar adalah
seorang wanita, ia tahu bahwa Tegar masih sangat mencintai Rossie meski dalam
bentuk cinta yang berbeda, dan ternyata egoisme kewanitaannya *istilah darimana
ini diaan -____-* tidak mampu menerima hal tersebut. Bahkan ketika Tegar
menawarkan pada Sekar untuk langsung menikah di Lombok saja, Sekar tidak mau.
Menurutnya, menikah dan menetap di Lombok sama saja berarti membangun rumah
tangga di bawah bayang-bayang Rossie.
Mana yang akhirnya dipilih oleh Tegar
: tetap mendampingi anak-anak Rossie atau memilih bertunangan dengan Sekar yang
dulu telah berjasa membantunya melawan patah hati saat kehilangan Rossie?
Apakah Rossie akhirnya mampu sembuh dari depresinya? Apakah anak-anak mampu
melanjutkan hidup yang ceria seperti saat ayahnya masih ada? Hmm, silahkan
dibaca sendiri novelnya :-)
Lumayan banyak pelajaran yang bisa
kita petik sepanjang membaca novel ini. Tentang bagaimana menjalani kehidupan
di saat duka, tentang lebih hebatnya kemampuan alamiah anak-anak dalam memahami
makna kehidupan (perlu kita akui orang dewasa seringkali perlu belajar dari
mereka!), tentang hakikat sebuah pilihan, dan tentu saja tentang arti memaafkan.
Sangat sesuai dengan blurb di
belakang novelnya :
Sebenarnya, apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki?
Rasa sakit, gelisah, sesak, tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian?
Bukankah dengan berlalunya waktu semuanya seperti gelas kosong yang berdebu, begitu-begitu saja, tidak istimewa.
Malah lucu serta gemas saat dikenang.
Tapi jujur, saya kurang suka dengan
ending novelnya. Saya merasa pemahaman tentang kehilangan akan lebih ‘ngena’
kalau endingnya berkebalikan dengan yang dipilih penulis. Yah, tapi ini hanya
selera saya pribadi koq. Overall,
novel ini layak dibaca oleh siapapun. Saat kita tengah bersedih, novel ini akan
menjadi pengingat bahwa sungguh kesedihan yang kita rasakan mungkin tak ada
artinya dengan kesedihan yang dirasakan orang lain, sekaligus menjadi
penyemangat bahwa jalan keluar dari kesedihan itu selalu ada. Yang terpenting,
kita tetap berpikir positif, tak perlu menyalahkan keadaan, cukup jalani hidup
sebisa mungkin seperti biasa. Sedangkan saat kita tengah gembira, novel ini
juga menjadi pengingat untuk senantiasa bersyukur atas keberadaan orang-orang
yang kita cintai.
Jadi, book meter untuk buku ini :
*hanya minus 1 bintang karena saya gak
suka endingnya >,<
Novel ini juga dibuat dalam rangka
mengikuti :
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komen :)