The Da Vinci Code benar-benar sukses
membuat saya ketagihan membaca karya Dan Brown yang lain. Beruntungnya saya,
gak harus ngidam lama2 karena keinginan itu langsung terpenuhi, satu set e-book semua karya Dan Brown
mendarat dengan cantik di email hanya berselang 2 hari setelah The Da Vinci
Code saya khatamkan. Ah, gak percuma punya senior yang juga menggemari teori
konspirasi #eh #semogaseniorsayagakbaca :p
Alhasil, seminggu kemarin saya
mulai marathon membacanya. Belum selesai semua sih, cuma berhasil khatam 2
e-book, tapi itupun udah alhamdulillah banget untuk ukuran saya yang agak
alergi e-book hehe. Karena udah kadung acak memulai membaca dari buku ke-2
(yaitu The Da Vinci Code), akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan langsung
ke buku ke-3 (The Lost Symbol), setelah itu baru saya baca buku pertamanya
(Angels and Demons). Hal ini tidak terlalu berpengaruh koq karena masing-masing
buku tidak memiliki keterkaitan cerita, meski mengangkat tokoh utama yang sama,
Mr. Robert Langdon :D
***
Pas mau nge-review sempet
bingung, enaknya review yang mana dulu yak. Setelah saya pertimbangkan dengan
seksama, oke, saya putuskan sepertinya lebih enak kalo urutan review mengikuti
urutan tahun terbit bukunya saja supaya lebih sistematis ^^.
Angels and Demons
pic source : goodreads |
Ini adalah buku yang mengangkat
petualangan pertama Robert Langdon. Seperti yang dikatakan Dan Brown dalam
pengantarnya, disinilah ia mulai membentuk karakter tokoh tersebut. Robert
Langdon, seorang ahli simbologi dari Universitas Harvard, New York. Menurut
saya, Dan Brown cukup berhasil dalam menciptakan tokoh yang satu ini, karakternya
cukup kuat.
Bahkan saat saya baru membaca satu saja bukunya (The Da Vinci Code), saya merasa sudah cukup mengenal ciri khas Robert Langdon : seorang ilmuwan muda yang gaya berpakaiannya gak up-to-date hehe. Yap, Langdon dikisahkan baru berusia 40 tahunan, namun ia suka sekali mengenakan jas wol yang membuatnya terlihat lebih ‘sepuh’. Uniknya, Langdon juga selalu mengenakan jam tangan Mickey Mouse, pemberian orang tuanya semasa kecil. Seorang professor yang nyentrik. Haha, entah kenapa saya selalu suka dengan karakter-karakter yang begini, nyentrik tetapi jenius (Hercule Poirot contoh lainnya :p).
Bahkan saat saya baru membaca satu saja bukunya (The Da Vinci Code), saya merasa sudah cukup mengenal ciri khas Robert Langdon : seorang ilmuwan muda yang gaya berpakaiannya gak up-to-date hehe. Yap, Langdon dikisahkan baru berusia 40 tahunan, namun ia suka sekali mengenakan jas wol yang membuatnya terlihat lebih ‘sepuh’. Uniknya, Langdon juga selalu mengenakan jam tangan Mickey Mouse, pemberian orang tuanya semasa kecil. Seorang professor yang nyentrik. Haha, entah kenapa saya selalu suka dengan karakter-karakter yang begini, nyentrik tetapi jenius (Hercule Poirot contoh lainnya :p).
Di buku pertama ini, petualangan
Langdon terjadi di Vatikan, pusat agama Katolik. Awal kisahnya, Langdon
menerima telepon dari Maximilian Kohler. Dia adalah direktur utama CERN, sebuah
pusat penelitian ilmiah yang terletak di Swiss. Kohler memberitahu Langdon
bahwa salah seorang peneliti CERN telah dibunuh, dan pembunuhnya meninggalkan
cap luka bakar di dada korban bertuliskan : ILLUMINATI ! Langdon diminta membantu
mengungkap pembunuhan tersebut. Awalnya, dia menolak dan mengatakan bahwa pembunuhan
tersebut tidak mungkin didalangi oleh Illuminati. Mengapa? Sebab Langdon yakin
bahwa organisasi Illuminati telah punah sejak setengah abad yang lalu. Namun
ketika melihat foto cap pada mayat tersebut, Langdon percaya, sebab cap
tersebut sesuai dengan legenda yang ada, bentuknya simetris dan tidak mungkin
ditiru oleh komputer manapun! (tapi koq bisa muncul versi tercetaknya di buku
Dan Brown ini -___-)
Tidak lama kemudian, motif
pembunuhan tersebut langsung diketahui.. Rupanya, pembunuh ‘hanya’ mengincar
bola mata korban. Wow, kejam banget ya? Lebih kejam lagi karena bola mata
tersebut ‘hanya’ digunakan untuk membuka laboratorium pribadi yang dikunci
dengan sistem penginderaan retina. Ya, sasaran utama pembunuh tersebut memang
bukan nyawa korban, tetapi hasil penelitian terbaru sang korban.
Memang apa yang sedang diteliti?
Dan mengapa pembunuh tersebut sangat menginginkannya?
Antimateri ! Itulah objek
penelitian terbaru yang diincar pembunuh. Konon, 1 gram antimateri memiliki
kekuatan setara dengan 20 kiloton bom nuklir. Zat ini merupakan kebalikan dari
‘materi’, dan ia otomatis akan meledak apabila bersentuhan dengan ‘materi’.
Bayangkan saja, padahal semua benda di dunia ini adalah ‘materi’, bahkan
udara-pun termasuk ‘materi’.
Nah, selama di laboratorium, zat
‘antimateri’ tersebut tersimpan aman pada sebuah ‘tabung hampa’ yang mengandung
2 kutub magnet yang saling berlawanan untuk menjaga agar zat antimateri
tersebut mengapung di tengah-tengah tabung (tidak menempel pada tabung yang
notabene juga merupakan materi). Suplai listrik tabung itu diperoleh dari
baterai yang dapat diisi ulang dengan sebuah charger khusus yang hanya ada di
laboratorium tersebut. Dalam keadaan terisi penuh, baterai itu mampu menyuplai
listrik untuk tabung selama 24 jam. Celakanya, saat ini tabung berisi
antimateri tersebut telah dicuri oleh pembunuh !!
Vittoria Vetra, putri dari sang
korban tentu merasa sedih dengan kematian ayahnya yang tragis. Namun ia lebih
merasa bersalah lagi ketika menyadari tabung antimateri tersebut hilang. Ia
mengatakan kepada Kohler dan Langdon bahwa tabung tersebut harus ditemukan
sebelum baterainya habis. Jika tidak, tabung itu mampu menghancurkan wilayah
dalam radius setengah mil. Pertanyaannya, kemanakah sang pembunuh membawa
tabung tersebut?
Vatikan City, itulah jawabannya.
Ternyata sang pembunuh ini tipe
orang yang suka show-off. Dia
menyembunyikan tabung antimateri tersebut di suatu tempat di Vatikan City, lalu
merekamnya dengan menggunakan salah satu kamera pengintai milik Vatikan
sehingga langsung terdeteksi oleh penjaga keamanan. Kalo gitu gampang dong,
berarti petugas keamanan Vatikan langsung datang saja ke lokasi kamera
pengintai tersebut, pasti tabungnya ada disana. Eitt, tunggu dulu, pembunuh
tentu bukan orang yang bodoh. Kamera pengintai itu sengaja dipindahkan sang
pembunuh. Jadi, penjaga keamanan cuma bisa melihat adanya tabung tersebut dari
layar mereka, namun tidak tahu dimana letaknya.
Pembunuh juga teliti banget dalam
memilih waktu. Ia sengaja melakukan aksinya pada malam pemilihan Paus baru,
dimana pada malam itu kardinal dari seluruh dunia sedang berkumpul di Vatikan.
Seolah belum puas hanya meneror dengan meletakkan tabung antimateri, pembunuh
itu juga berhasil menculik 4 orang kardinal utama yang dijagokan sebagai calon
paus baru.
Tampaknya pembunuh tidak tanggung-tanggung
menabuh genderang perang pada gereja katolik. Siapakah sebenarnya dia? Benarkah
dia adalah tokoh Illuminati yang memang telah terkenal dalam sejarah memiliki
dendam yang besar pada gereja? Lalu mengapa dan bagaimana ia berhasil menembus
celah keamanan Vatikan yang terkenal super ketat itu, terlebih menjelang malam
pemilihan Paus? Benarkah ada penyusup di tubuh Vatikan? Lantas mampukah Robert
Langdon dan Vittoria Vetra menemukan tabung antimateri tersebut tepat waktu?
Bagaimana nasib keempat kardinal yang diculik??? Silahkan temukan jawabannya di
buku ini ;-)
Yang pasti, sepanjang buku saya
merasa disuguhkan sebuah petualangan yang super menegangkan. Hanya dalam waktu
24 jam, Langdon ditantang memecahkan kode-kode Illuminati untuk menemukan
keempat kardinal beserta tabung antimateri. Didampingi oleh Garda Swiss,
penjaga keamanan paling terpercaya bagi Vatikan, mereka bersama-sama menjelajahi
kota Roma, menelusuri kembali situs-situs yang dipercaya merupakan “Jalan
Pencerahan” yang dulu telah diciptakan oleh Illuminati. Sayangnya, dalam
kondisi seperti ini, label “paling terpercaya” nampaknya tak bisa ditempelkan
pada satu orang pun. Langdon harus super hati-hati, sebab kawan dan musuh benar-benar
sulit dideteksi.
Keseruan (plus kocaknya) petualangan makin
bertambah saat wartawan BBC mulai mencium tragedi ini. Padahal, awalnya Urusan
Kerumah Tanggaan Paus ingin agar penyelidikan berjalan sunyi senyap supaya
tidak mengganggu prosesi pemilihan Paus baru. Namun apa daya, wartawan tersebut
justru gencar membuntuti dan menyiarkan secara live. Bikin tambah ribet aja kan? *tapi kocak karena wartawan BBC
yang meliput ini adalah wartawan kelas dua xD.
Buku ini juga menyajikan begitu
banyak penemuan modern yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Selain
pemaparan tentang ‘dahsyatnya’ antimateri, saya juga dibuat terpukau dengan jet
yang bisa membawa Langdon dari Harvard ke Swiss hanya dalam waktu 1 jam, tabung
terjun bebas, dan penemuan mutakhir lainnya. Namun, diantara semua itu, saya
paling woow bangeet justru pada bagian
bagaimana Langdon dapat menyelamatkan dirinya dari maut hanya dengan
mengaplikasikan satu hukum fisika sederhana. Bener-bener berdecak kagum deh. Dibilang keajaiban ya emang
itu keajaiban, tapi sisi logis dan ilmiahnya juga dapet. Mengingatkan kita
bahwa ilmu (pemahaman) sekecil apapun pasti berguna dalam hidup ini, bahkan kerap
bisa menyelamatkan kita dari kondisi ekstrim :’)
Intina, abdi teh resep sanget ku
buku ieu :D *eh, nyunda-nya bener gak yaa? hihi..
The Lost Symbol
Pic Source : Goodreads |
Berbeda dengan buku pertama dan
kedua yang mengambil setting di Benua Eropa, dalam buku ketiga ini petualangan
Robert Langdon terjadi di kampung halamannya sendiri, Amerika Serikat. Misteri
apakah yang dipecahkan Langdon di negeri Paman Sam ini? Apakah sama serunya
dengan dua kasus sebelumnya?
Monggo dicicipi sendiri :D
Buku ketiga ini mengangkat tema
tentang misteri Freemasony atau lebih
dikenal dengan nama organisasi Mason. Tidak seperti Illuminati yang
eksistensinya saat ini diduga sudah punah, organisasi Mason hingga kini masih
aktif. Beberapa tokoh terkenal Amerika Serikat bahkan tanpa ragu
‘mendeklarasikan’ dirinya sebagai anggota Mason. Pernah mendengar nama George
Washington atau Benjamin Franklin? Ya, mereka adalah Bapak Bangsa Amerika
Serikat yang sekaligus juga anggota derajat tertinggi Mason. Namun demikian, meskipun
keanggotaan Mason relatif tidak disembunyikan, banyak orang yang menganggap
bahwa organisasi ini sangat misterius, bahkan berbahaya.
Nah, di buku ketiga ini Dan Brown
ingin ‘mengemukakan’ pandangannya tentang Mason, tentu saja melalui kisah fiksi
Robert Langdon. Kisah dibuka dengan kedatangan Langdon ke ibukota Amerika
Serikat, Washington D.C. Dia datang atas undangan seseorang yang mengaku
sahabat lamanya, Peter Solomon. Orang tersebut meminta Langdon mengisi ceramah
simbologi di Gedung Capitol. Tentu saja, Langdon dengan senang hati memenuhi
undangan tersebut.
Nah,betapa terkejutnya Langdon
ketika tiba di Gedung Capitol ia tidak menjumpai adanya acara yang dimaksud si
pengundang. Bahkan, batang hidung (*iyaa saya tahu frase ini klise banget xD)
Peter Solomon pun tak nampak. Kejutan besar terjadi, saat Langdon memasuki
Ruang Rotunda Gedung Capitol, ada seorang bocah yang menjerit karena melihat
tangan terpotong. Dan Robert Langdon mengenali tangan itu adalah tangan Peter
Solomon dari cincin Mason yang menempel di salah satu jarinya !
Hmm, Dan Brown emang penulis yang
ritme kisahnya sangat cepat. Tanpa banyak membuang waktu, ia selalu menyajikan
tragedi di awal kepada pembacanya >,< Tapi ini yang bikin seru sih.
Atas tragedi penemuan ‘tangan’
ini, petugas keamanan gedung Capitol tentu langsung melakukan upaya
penyelidikan lapangan. Tetapi tidak lama kemudian, datang serombongan Tim CIA
yang berkeras ingin mengambil alih penyelidikan kasus ini. Wow, sebegitu
penting-nya kah kasus ini hingga CIA merasa harus turun tangan langsung?
Anehnya, sebenarnya petugas keamanan gedung Capitol belum melaporkan kasus ini
kepada CIA, lantas darimana mereka mengetahuinya?? Bahkan, penyelidikan tim CIA
ini dipimpin langsung oleh salah satu direkturnya, Inoue Sato.
Robert Langdon, yang notabene
merupakan sahabat Peter Solomon tentu tidak ingin tinggal diam. Ia ingin
membantu penyelidikan. Langdon berkeyakinan bahwa orang yang memotong tangan
Peter adalah orang yang sama dengan yang telah menjebaknya untuk datang ke
Capitol. Namun, apa motifnya?
Tidak lama kemudian, orang
misterius tersebut kembali menelepon Langdon, kali ini ia tidak lagi menyamar
sebagai Peter Solomon. Orang tersebut memperkenalkan dirinya dengan nama
Mal’akh. Ia berkata bahwa potongan tangan Peter Solomon bermakna ‘undangan’
bagi Langdon. Ya, Mal’akh mengundang Langdon untuk membantunya memecahkan
misteri Piramida Mason. Mal’akh mengancam jika Langdon menolak perintah
tersebut maka nyawa Peter Solomon tidak akan selamat.
Awalnya Langdon menolak. Bukan,
bukan karena ia tak peduli pada keselamatan Peter Solomon, melainkan karena
sebagai ahli simbologi Langdon meyakini bahwa Piramida Mason tak lebih dari
sebuah legenda !
Tetapi rupanya bukan hanya
Mal’akh yang memaksa Langdon, CIA-pun demikian.Bahkan, direktur CIA mendesak
Langdon untuk segera menemukan piramida tersebut. Kalau tidak, stabilitas
nasional AS dalam bahaya, begitu kata mereka. (Parahnya, CIA seolah
menomorduakan nyawa Peter Solomon. Mereka meminta jika piramida tersebut sudah
ditemukan, Mal’akh jangan diberitahu. Bagaimana mungkin Solomon bisa selamat
jika Mal’akh tak diberitahu letak piramida itu?!)
Sebenarnya, apakah legenda
Piramida Mason itu benar-benar nyata? Kalaupun iya, seberharga apa rahasia yang
tersimpan di dalamnya hingga diperebutkan oleh CIA dan orang misterius bernama
Mal’akh?
Sejujurnya, saat menulis review,
saya sudah lupa dengan sensasi keseruan buku ini karena sudah ‘tertimpa’
keseruan membaca Angels and Demons -___- Yah, patut saya akui, buku ini kalah
seru dengan Angels and Demons. Eh, mungkin lebih tepatnya Angels and Demons
keterlaluan serunya sampe bisa bikin saya lupa begini :P
Well, saya harus coba
mengorek-ngorek memori saya lagi, mencari fragmen-fragmen mana yang patut
diulas dari buku The Lost Symbol. Jadi mohon maklum kalo agak random yak?
*plaak, reviewmu yg lain juga random bgt dian xD
Yang pasti dalam buku ini kita
akan segera tahu bahwa piramida Mason itu nyata !! Spoiler? Engga ah, wong
fakta ini udah dibeberin Dan Brown sejak bab-bab awal koq hihi. Tapi jangan
bayangkan piramida tersebut berdiri gagah layaknya piramida para Fir’aun di
Giza,Mesir. Kenapa? Karena piramida itu sangat kecil, muat dalam genggaman
tangan.
Meski kecil, piramida itu
ternyata penuh dengan simbol berlapis. Disinilah keahlian simbologi Langdon lagi-lagi
ditantang. Ia harus memecahkan kode piramida itu untuk menemukan ‘harta
terpendam’ kaum Mason. Petualangan Langdon kali ini didampingi oleh adik Peter
Solomon, yang bernama Catherine. Selain itu, ia juga dibantu oleh anggota Mason
lainnya yang juga arsitek gedung Capitol, yaitu Warren Bellamy.
Di buku ini Dan Brown menguak
makna simbolis situs-situs pemerintahan Amerika Serikat ditinjau dari sudut
pandang kaum Mason. Entah makna ini benar atau tidak, yang pasti saya jadi
mempunyai sudut pandang ‘lain’ ketika mendengar kata Gedung Capitol, Monumen
Washington, National Mall, dan situs-situs lainnya.
Dan sepertinya sebuah kesalahan
besar jika kita menganggap bangsa Amerika Serikat adalah bangsa yang sekuler, lihat saja frase apa
yang terukir di ujung monument Washington : Laus Deo (terpujilah Tuhan). *Gak
bermaksud memancing perdebatan apapun saat menuliskan bagian ini :))*
Oh iya, masih sama seperti buku
sebelumnya, di buku ini juga dipaparkan ‘keajaiban’ ilmu pengetahuan. Yang
paling bikin saya melongo adalah teknologi Total Liquid Ventilation! Kecele
abis-abisan saya saat membaca bagian ini, haaaah Dan Brown menipu saya
mentah-mentah >,< *suruh siapa gak update teknologi :p Eh tapi saya yakin
100%, yang belum pernah baca The Lost Symbol juga pasti belum pernah denger
teknologi ini kan? Hayo ngakuu, :P
Overall, buku ini saangat layak
dibaca, dan rating yang saya berikan :
Tambahan :
Setelah membaca 3 buku Dan Brown,
secara garis besar saya menemukan beberapa kesamaan pada ketiga buku ini :
1. mengupas simbol/legenda yang sudah sering
diperdebatkan oleh umum -> ya iyalah, tokoh utamanya juga simbolog xD
2. Robert Langdon selalu didampingi wanita saat
memecahkan kasus (Vittoria Vetra dalam Angels and Demons, Sophie Neveu dalam
The Da Vinci Code, serta Chaterine Solomon dalam The Lost Symbol), dan di
ending buku selalu diceritakan Langdon tertarik pada mereka (playboy juga dia
-__-)
3. Selalu melibatkan satuan pengamanan terkenal
(Garda Swiss dalam Angels and Demons, Polisi Judicial Prancis dalam The Da
Vinci Code, serta CIA dalam The Lost Symbol)
4.
Ending-nya kalo saya bilang sih selalu soft. Sepanjang kisah, Dan Brown memang
berani mengungkap banyak hal-hal kontroversial mengenai suatu organisasi/agama,
tetapi saat ending Dan Brown lebih memilih akhir cerita yang tidak memihak
siapa-siapa (ini menurut saya lho yaa). Dan Brown tidak mengarahkan pembaca
untuk men-cap organisasi ini sesat, ajaran agama ini buruk, tidak, yang saya
rasakan sih tidak seperti itu. Ia justru mencoba menggambarkan bahwa suatu
kejahatan terjadi lebih karena alasan/latar belakang pribadi pelakunya, bukan
karena ia berasal dari organisasi atau agama A, B, C, atau D. Jadi gak perlu
deh saling men-judge buruk suatu keyakinan ^o^
Berarti tinggal 1 buku lagi dari
kisah Robert Langdon ini yang belum saya baca, yaitu Inferno. Udah punya sih
e-book nya, tapi bahasa Inggris *gak yakin sanggup -__- Kira-kira kapan ya
bakalan diterjemahin? Saya menunggu :D
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komen :)