Selasa, 27 Agustus 2013

Baca Marathon : Angels and Demons (Dan Brown, 2005) dan The Lost Symbol (Dan Brown, 2009)




The Da Vinci Code benar-benar sukses membuat saya ketagihan membaca karya Dan Brown yang lain. Beruntungnya saya, gak harus ngidam lama2 karena keinginan itu langsung terpenuhi, satu set e-book semua karya Dan Brown mendarat dengan cantik di email hanya berselang 2 hari setelah The Da Vinci Code saya khatamkan. Ah, gak percuma punya senior yang juga menggemari teori konspirasi #eh #semogaseniorsayagakbaca :p

Alhasil, seminggu kemarin saya mulai marathon membacanya. Belum selesai semua sih, cuma berhasil khatam 2 e-book, tapi itupun udah alhamdulillah banget untuk ukuran saya yang agak alergi e-book hehe. Karena udah kadung acak memulai membaca dari buku ke-2 (yaitu The Da Vinci Code), akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan langsung ke buku ke-3 (The Lost Symbol), setelah itu baru saya baca buku pertamanya (Angels and Demons). Hal ini tidak terlalu berpengaruh koq karena masing-masing buku tidak memiliki keterkaitan cerita, meski mengangkat tokoh utama yang sama, Mr. Robert Langdon :D

***

Pas mau nge-review sempet bingung, enaknya review yang mana dulu yak. Setelah saya pertimbangkan dengan seksama, oke, saya putuskan sepertinya lebih enak kalo urutan review mengikuti urutan tahun terbit bukunya saja supaya lebih sistematis ^^. 


Angels and Demons


pic source : goodreads



Ini adalah buku yang mengangkat petualangan pertama Robert Langdon. Seperti yang dikatakan Dan Brown dalam pengantarnya, disinilah ia mulai membentuk karakter tokoh tersebut. Robert Langdon, seorang ahli simbologi dari Universitas Harvard, New York. Menurut saya, Dan Brown cukup berhasil dalam menciptakan tokoh yang satu ini, karakternya cukup kuat.

Bahkan saat saya baru membaca satu saja bukunya (The Da Vinci Code), saya merasa sudah cukup mengenal ciri khas Robert Langdon : seorang ilmuwan muda yang gaya berpakaiannya gak up-to-date hehe. Yap, Langdon dikisahkan baru berusia 40 tahunan, namun ia suka sekali mengenakan jas wol yang membuatnya terlihat lebih ‘sepuh’. Uniknya, Langdon juga selalu mengenakan jam tangan Mickey Mouse, pemberian orang tuanya semasa kecil. Seorang professor yang nyentrik. Haha, entah kenapa saya selalu suka dengan karakter-karakter yang begini, nyentrik tetapi jenius (Hercule Poirot contoh lainnya :p).

Di buku pertama ini, petualangan Langdon terjadi di Vatikan, pusat agama Katolik. Awal kisahnya, Langdon menerima telepon dari Maximilian Kohler. Dia adalah direktur utama CERN, sebuah pusat penelitian ilmiah yang terletak di Swiss. Kohler memberitahu Langdon bahwa salah seorang peneliti CERN telah dibunuh, dan pembunuhnya meninggalkan cap luka bakar di dada korban bertuliskan : ILLUMINATI ! Langdon diminta membantu mengungkap pembunuhan tersebut. Awalnya, dia menolak dan mengatakan bahwa pembunuhan tersebut tidak mungkin didalangi oleh Illuminati. Mengapa? Sebab Langdon yakin bahwa organisasi Illuminati telah punah sejak setengah abad yang lalu. Namun ketika melihat foto cap pada mayat tersebut, Langdon percaya, sebab cap tersebut sesuai dengan legenda yang ada, bentuknya simetris dan tidak mungkin ditiru oleh komputer manapun! (tapi koq bisa muncul versi tercetaknya di buku Dan Brown ini -___-)

Tidak lama kemudian, motif pembunuhan tersebut langsung diketahui.. Rupanya, pembunuh ‘hanya’ mengincar bola mata korban. Wow, kejam banget ya? Lebih kejam lagi karena bola mata tersebut ‘hanya’ digunakan untuk membuka laboratorium pribadi yang dikunci dengan sistem penginderaan retina. Ya, sasaran utama pembunuh tersebut memang bukan nyawa korban, tetapi hasil penelitian terbaru sang korban.

Memang apa yang sedang diteliti? Dan mengapa pembunuh tersebut sangat menginginkannya?

Antimateri ! Itulah objek penelitian terbaru yang diincar pembunuh. Konon, 1 gram antimateri memiliki kekuatan setara dengan 20 kiloton bom nuklir. Zat ini merupakan kebalikan dari ‘materi’, dan ia otomatis akan meledak apabila bersentuhan dengan ‘materi’. Bayangkan saja, padahal semua benda di dunia ini adalah ‘materi’, bahkan udara-pun termasuk ‘materi’.

Nah, selama di laboratorium, zat ‘antimateri’ tersebut tersimpan aman pada sebuah ‘tabung hampa’ yang mengandung 2 kutub magnet yang saling berlawanan untuk menjaga agar zat antimateri tersebut mengapung di tengah-tengah tabung (tidak menempel pada tabung yang notabene juga merupakan materi). Suplai listrik tabung itu diperoleh dari baterai yang dapat diisi ulang dengan sebuah charger khusus yang hanya ada di laboratorium tersebut. Dalam keadaan terisi penuh, baterai itu mampu menyuplai listrik untuk tabung selama 24 jam. Celakanya, saat ini tabung berisi antimateri tersebut telah dicuri oleh pembunuh !!

Vittoria Vetra, putri dari sang korban tentu merasa sedih dengan kematian ayahnya yang tragis. Namun ia lebih merasa bersalah lagi ketika menyadari tabung antimateri tersebut hilang. Ia mengatakan kepada Kohler dan Langdon bahwa tabung tersebut harus ditemukan sebelum baterainya habis. Jika tidak, tabung itu mampu menghancurkan wilayah dalam radius setengah mil. Pertanyaannya, kemanakah sang pembunuh membawa tabung tersebut?

Vatikan City, itulah jawabannya.

Ternyata sang pembunuh ini tipe orang yang suka show-off. Dia menyembunyikan tabung antimateri tersebut di suatu tempat di Vatikan City, lalu merekamnya dengan menggunakan salah satu kamera pengintai milik Vatikan sehingga langsung terdeteksi oleh penjaga keamanan. Kalo gitu gampang dong, berarti petugas keamanan Vatikan langsung datang saja ke lokasi kamera pengintai tersebut, pasti tabungnya ada disana. Eitt, tunggu dulu, pembunuh tentu bukan orang yang bodoh. Kamera pengintai itu sengaja dipindahkan sang pembunuh. Jadi, penjaga keamanan cuma bisa melihat adanya tabung tersebut dari layar mereka, namun tidak tahu dimana letaknya.

Pembunuh juga teliti banget dalam memilih waktu. Ia sengaja melakukan aksinya pada malam pemilihan Paus baru, dimana pada malam itu kardinal dari seluruh dunia sedang berkumpul di Vatikan. Seolah belum puas hanya meneror dengan meletakkan tabung antimateri, pembunuh itu juga berhasil menculik 4 orang kardinal utama yang dijagokan sebagai calon paus baru.

Tampaknya pembunuh tidak tanggung-tanggung menabuh genderang perang pada gereja katolik. Siapakah sebenarnya dia? Benarkah dia adalah tokoh Illuminati yang memang telah terkenal dalam sejarah memiliki dendam yang besar pada gereja? Lalu mengapa dan bagaimana ia berhasil menembus celah keamanan Vatikan yang terkenal super ketat itu, terlebih menjelang malam pemilihan Paus? Benarkah ada penyusup di tubuh Vatikan? Lantas mampukah Robert Langdon dan Vittoria Vetra menemukan tabung antimateri tersebut tepat waktu? Bagaimana nasib keempat kardinal yang diculik??? Silahkan temukan jawabannya di buku ini ;-)

Yang pasti, sepanjang buku saya merasa disuguhkan sebuah petualangan yang super menegangkan. Hanya dalam waktu 24 jam, Langdon ditantang memecahkan kode-kode Illuminati untuk menemukan keempat kardinal beserta tabung antimateri. Didampingi oleh Garda Swiss, penjaga keamanan paling terpercaya bagi Vatikan, mereka bersama-sama menjelajahi kota Roma, menelusuri kembali situs-situs yang dipercaya merupakan “Jalan Pencerahan” yang dulu telah diciptakan oleh Illuminati. Sayangnya, dalam kondisi seperti ini, label “paling terpercaya” nampaknya tak bisa ditempelkan pada satu orang pun. Langdon harus super hati-hati, sebab kawan dan musuh benar-benar sulit dideteksi.

 Keseruan (plus kocaknya) petualangan makin bertambah saat wartawan BBC mulai mencium tragedi ini. Padahal, awalnya Urusan Kerumah Tanggaan Paus ingin agar penyelidikan berjalan sunyi senyap supaya tidak mengganggu prosesi pemilihan Paus baru. Namun apa daya, wartawan tersebut justru gencar membuntuti dan menyiarkan secara live. Bikin tambah ribet aja kan? *tapi kocak karena wartawan BBC yang meliput ini adalah wartawan kelas dua xD.

Buku ini juga menyajikan begitu banyak penemuan modern yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Selain pemaparan tentang ‘dahsyatnya’ antimateri, saya juga dibuat terpukau dengan jet yang bisa membawa Langdon dari Harvard ke Swiss hanya dalam waktu 1 jam, tabung terjun bebas, dan penemuan mutakhir lainnya. Namun, diantara semua itu, saya paling woow bangeet  justru pada bagian bagaimana Langdon dapat menyelamatkan dirinya dari maut hanya dengan mengaplikasikan satu hukum fisika sederhana. Bener-bener berdecak kagum deh. Dibilang keajaiban ya emang itu keajaiban, tapi sisi logis dan ilmiahnya juga dapet. Mengingatkan kita bahwa ilmu (pemahaman) sekecil apapun pasti berguna dalam hidup ini, bahkan kerap bisa menyelamatkan kita dari kondisi ekstrim :’)

Intina, abdi teh resep sanget ku buku ieu :D *eh, nyunda-nya bener gak yaa? hihi.. 




The Lost Symbol


Pic Source : Goodreads

Berbeda dengan buku pertama dan kedua yang mengambil setting di Benua Eropa, dalam buku ketiga ini petualangan Robert Langdon terjadi di kampung halamannya sendiri, Amerika Serikat. Misteri apakah yang dipecahkan Langdon di negeri Paman Sam ini? Apakah sama serunya dengan dua kasus sebelumnya?

Monggo dicicipi sendiri :D

Buku ketiga ini mengangkat tema tentang misteri Freemasony atau lebih dikenal dengan nama organisasi Mason. Tidak seperti Illuminati yang eksistensinya saat ini diduga sudah punah, organisasi Mason hingga kini masih aktif. Beberapa tokoh terkenal Amerika Serikat bahkan tanpa ragu ‘mendeklarasikan’ dirinya sebagai anggota Mason. Pernah mendengar nama George Washington atau Benjamin Franklin? Ya, mereka adalah Bapak Bangsa Amerika Serikat yang sekaligus juga anggota derajat tertinggi Mason. Namun demikian, meskipun keanggotaan Mason relatif tidak disembunyikan, banyak orang yang menganggap bahwa organisasi ini sangat misterius, bahkan berbahaya.

Nah, di buku ketiga ini Dan Brown ingin ‘mengemukakan’ pandangannya tentang Mason, tentu saja melalui kisah fiksi Robert Langdon. Kisah dibuka dengan kedatangan Langdon ke ibukota Amerika Serikat, Washington D.C. Dia datang atas undangan seseorang yang mengaku sahabat lamanya, Peter Solomon. Orang tersebut meminta Langdon mengisi ceramah simbologi di Gedung Capitol. Tentu saja, Langdon dengan senang hati memenuhi undangan tersebut.

Nah,betapa terkejutnya Langdon ketika tiba di Gedung Capitol ia tidak menjumpai adanya acara yang dimaksud si pengundang. Bahkan, batang hidung (*iyaa saya tahu frase ini klise banget xD) Peter Solomon pun tak nampak. Kejutan besar terjadi, saat Langdon memasuki Ruang Rotunda Gedung Capitol, ada seorang bocah yang menjerit karena melihat tangan terpotong. Dan Robert Langdon mengenali tangan itu adalah tangan Peter Solomon dari cincin Mason yang menempel di salah satu jarinya !

Hmm, Dan Brown emang penulis yang ritme kisahnya sangat cepat. Tanpa banyak membuang waktu, ia selalu menyajikan tragedi di awal kepada pembacanya >,< Tapi ini yang bikin seru sih.

Atas tragedi penemuan ‘tangan’ ini, petugas keamanan gedung Capitol tentu langsung melakukan upaya penyelidikan lapangan. Tetapi tidak lama kemudian, datang serombongan Tim CIA yang berkeras ingin mengambil alih penyelidikan kasus ini. Wow, sebegitu penting-nya kah kasus ini hingga CIA merasa harus turun tangan langsung? Anehnya, sebenarnya petugas keamanan gedung Capitol belum melaporkan kasus ini kepada CIA, lantas darimana mereka mengetahuinya?? Bahkan, penyelidikan tim CIA ini dipimpin langsung oleh salah satu direkturnya, Inoue Sato.

Robert Langdon, yang notabene merupakan sahabat Peter Solomon tentu tidak ingin tinggal diam. Ia ingin membantu penyelidikan. Langdon berkeyakinan bahwa orang yang memotong tangan Peter adalah orang yang sama dengan yang telah menjebaknya untuk datang ke Capitol. Namun, apa motifnya?

Tidak lama kemudian, orang misterius tersebut kembali menelepon Langdon, kali ini ia tidak lagi menyamar sebagai Peter Solomon. Orang tersebut memperkenalkan dirinya dengan nama Mal’akh. Ia berkata bahwa potongan tangan Peter Solomon bermakna ‘undangan’ bagi Langdon. Ya, Mal’akh mengundang Langdon untuk membantunya memecahkan misteri Piramida Mason. Mal’akh mengancam jika Langdon menolak perintah tersebut maka nyawa Peter Solomon tidak akan selamat.

Awalnya Langdon menolak. Bukan, bukan karena ia tak peduli pada keselamatan Peter Solomon, melainkan karena sebagai ahli simbologi Langdon meyakini bahwa Piramida Mason tak lebih dari sebuah legenda !

Tetapi rupanya bukan hanya Mal’akh yang memaksa Langdon, CIA-pun demikian.Bahkan, direktur CIA mendesak Langdon untuk segera menemukan piramida tersebut. Kalau tidak, stabilitas nasional AS dalam bahaya, begitu kata mereka. (Parahnya, CIA seolah menomorduakan nyawa Peter Solomon. Mereka meminta jika piramida tersebut sudah ditemukan, Mal’akh jangan diberitahu. Bagaimana mungkin Solomon bisa selamat jika Mal’akh tak diberitahu letak piramida itu?!)

Sebenarnya, apakah legenda Piramida Mason itu benar-benar nyata? Kalaupun iya, seberharga apa rahasia yang tersimpan di dalamnya hingga diperebutkan oleh CIA dan orang misterius bernama Mal’akh?

Sejujurnya, saat menulis review, saya sudah lupa dengan sensasi keseruan buku ini karena sudah ‘tertimpa’ keseruan membaca Angels and Demons -___- Yah, patut saya akui, buku ini kalah seru dengan Angels and Demons. Eh, mungkin lebih tepatnya Angels and Demons keterlaluan serunya sampe bisa bikin saya lupa begini :P

Well, saya harus coba mengorek-ngorek memori saya lagi, mencari fragmen-fragmen mana yang patut diulas dari buku The Lost Symbol. Jadi mohon maklum kalo agak random yak? *plaak, reviewmu yg lain juga random bgt dian xD

Yang pasti dalam buku ini kita akan segera tahu bahwa piramida Mason itu nyata !! Spoiler? Engga ah, wong fakta ini udah dibeberin Dan Brown sejak bab-bab awal koq hihi. Tapi jangan bayangkan piramida tersebut berdiri gagah layaknya piramida para Fir’aun di Giza,Mesir. Kenapa? Karena piramida itu sangat kecil, muat dalam genggaman tangan.

Meski kecil, piramida itu ternyata penuh dengan simbol berlapis. Disinilah keahlian simbologi Langdon lagi-lagi ditantang. Ia harus memecahkan kode piramida itu untuk menemukan ‘harta terpendam’ kaum Mason. Petualangan Langdon kali ini didampingi oleh adik Peter Solomon, yang bernama Catherine. Selain itu, ia juga dibantu oleh anggota Mason lainnya yang juga arsitek gedung Capitol, yaitu Warren Bellamy.

Di buku ini Dan Brown menguak makna simbolis situs-situs pemerintahan Amerika Serikat ditinjau dari sudut pandang kaum Mason. Entah makna ini benar atau tidak, yang pasti saya jadi mempunyai sudut pandang ‘lain’ ketika mendengar kata Gedung Capitol, Monumen Washington, National Mall, dan situs-situs lainnya.
Dan sepertinya sebuah kesalahan besar jika kita menganggap bangsa Amerika Serikat adalah bangsa yang sekuler, lihat saja frase apa yang terukir di ujung monument Washington : Laus Deo (terpujilah Tuhan). *Gak bermaksud memancing perdebatan apapun saat menuliskan bagian ini :))*

Oh iya, masih sama seperti buku sebelumnya, di buku ini juga dipaparkan ‘keajaiban’ ilmu pengetahuan. Yang paling bikin saya melongo adalah teknologi Total Liquid Ventilation! Kecele abis-abisan saya saat membaca bagian ini, haaaah Dan Brown menipu saya mentah-mentah >,< *suruh siapa gak update teknologi :p Eh tapi saya yakin 100%, yang belum pernah baca The Lost Symbol juga pasti belum pernah denger teknologi ini kan? Hayo ngakuu, :P

Overall, buku ini saangat layak dibaca, dan rating yang saya berikan :



Tambahan :
Setelah membaca 3 buku Dan Brown, secara garis besar saya menemukan beberapa kesamaan pada ketiga buku ini :
1.     mengupas simbol/legenda yang sudah sering diperdebatkan oleh umum -> ya iyalah, tokoh utamanya juga simbolog xD
2.   Robert Langdon selalu didampingi wanita saat memecahkan kasus (Vittoria Vetra dalam Angels and Demons, Sophie Neveu dalam The Da Vinci Code, serta Chaterine Solomon dalam The Lost Symbol), dan di ending buku selalu diceritakan Langdon tertarik pada mereka (playboy juga dia -__-)
3.      Selalu melibatkan satuan pengamanan terkenal (Garda Swiss dalam Angels and Demons, Polisi Judicial Prancis dalam The Da Vinci Code, serta CIA dalam The Lost Symbol)
4.       Ending-nya kalo saya bilang sih selalu soft. Sepanjang kisah, Dan Brown memang berani mengungkap banyak hal-hal kontroversial mengenai suatu organisasi/agama, tetapi saat ending Dan Brown lebih memilih akhir cerita yang tidak memihak siapa-siapa (ini menurut saya lho yaa). Dan Brown tidak mengarahkan pembaca untuk men-cap organisasi ini sesat, ajaran agama ini buruk, tidak, yang saya rasakan sih tidak seperti itu. Ia justru mencoba menggambarkan bahwa suatu kejahatan terjadi lebih karena alasan/latar belakang pribadi pelakunya, bukan karena ia berasal dari organisasi atau agama A, B, C, atau D. Jadi gak perlu deh saling men-judge buruk suatu keyakinan ^o^

Berarti tinggal 1 buku lagi dari kisah Robert Langdon ini yang belum saya baca, yaitu Inferno. Udah punya sih e-book nya, tapi bahasa Inggris *gak yakin sanggup -__- Kira-kira kapan ya bakalan diterjemahin? Saya menunggu :D

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komen :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
back to top
 

Boekenliefhebber Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Tadpole's Notez Flower Image by Dapino