Enam anak muda dari berbagai daerah di Indonesia –Slamet dari Trenggalek, Poltak dari Pematang Siantar, Ria dari Padang, Benny dari Jakarta, Gun Gun dari Ciamis, dan Fuad dari Surabaya – dipersatukan dalam sebuah persahabatan di kampus Jalan Ganesha, Institut Teknologi Bandung. Bersama-sama mereka mulai mengayunkan langkah dengan penuh idealisme dan cita-cita.
Bertahun-tahun, anak-anak muda dengan latar budaya dan sosial-ekonomi berbeda-beda itu mengalami berbagai suka-duka di kampus. Banyak kejadian lucu, seru, dan mengharukan yang mereka lalui bersama. Mulai dari kekonyolan-kekonyolan khas mahasiswa baru, persaingan cinta di antara mereka, hingga keterlibatan dalam gerakan mahasiswa menentang rezim politik yang represif. Semua itu semakin mempererat persahabatan di antara mereka.
Waktu berlalu dan satu per satu mereka pun lulus. Selepas dari ITB, mereka menjalani kehidupan masing-masing : menjadi dosen di almameter, pengusaha, pemusik, dan lain-lain. Berbagai kenyataan hidup menghadang mereka, mulai dari cinta, godaan materi, dan cobaan mempertahankan idealisme. Setelah bertahun-tahun, mereka bertemu kembali. Apakah persahabatan lama mereka masih berarti? Apakah segala cita-cita luhur mereka masih berbekas? Terwujudkah impian mereka?
Itulah sebuah kisah perjuangan anak bangsa meraih impian yang dipenuhi cerita-cerita mengharukan, kocak, sekaligus inspiratif.
Demikian bunyi sinopsis novel
Gading-Gading Ganesha, sebuah novel yang ditulis khusus sebagai persembahan
untuk memperingati Dies Natalis Emas ITB yang jatuh pada tahun 2009 lalu.
Penulisnya sendiri adalah alumnus Fakultas Teknik Industri ITB, namanya Bapak
Dermawan Wibisono.
Awal dapet rekomendasi novel ini jujur gak terlalu antusias. Pertama, melihat background penulisnya, waduh kayaknya bakal serius banget ini novel. Kedua, tema ceritanya sendiri *untuk saat ini* sudah tidak terlalu orisinil buat saya, karena sudah diangkat dalam Negeri 5 Menara dengan Pondok Madani-nya, Notasi dengan UGM-nya, dan Laskar Pelangi dengan SD Muhammadiyah-nya. Jadi, mau gak mau sejak awal membaca saya sudah bersiap-siap akan membandingkan 3G dengan novel-novel ‘saudara’nya tersebut. Dan hasilnya?
Tidak terlalu mengecewakan sih,
tapi belum bisa dibilang yang terbaik :)
Untuk menilai sebuah novel
benar-benar membuat seseorang tertarik atau tidak, paling gampang dan paling
gak bisa diboongin sebenarnya bisa diliat dari kecepatan membacanya. Makin
cepat sebuah novel selesai dibaca, maka bisa dipastikan orang tersebut
benar-benar terhanyut dan terbuai dengan jalan ceritanya hingga tak rela
berpaling dari si novel bahkan kantuk pun sanggup tak dirasa *apa deh ini*. Eh,
tapi kalo buat saya pribadi hipotesis ini bener banget sih, dan ternyata
Gading-Gading Ganesha yang terdiri dari 390 halaman bisa saya selesaikan dalam
waktu 7,5 jam alias semalam sajaa, tanpa skipping 1 halaman-pun lho :))
Artinya, dari segi cerita, alurnya cukup mengalir. Ya, ternyata kekhawatiran
saya di awal sama sekali tidak terbukti. Meskipun penulisnya adalah seseorang
yang berlatar pendidikan teknik, namun ia ternyata cukup piawai meramu kisah
dengan gaya bahasa yang crunchy.
Pemilihan diksi untuk percakapan
antar tokohnya cukup sesuai dengan setting
waktu yang dipilih, yakni era 80-an. Paling nggak banget itu kalo ada buku bersetting zaman baheula tapi sudah
memunculkan kosakata alay masa kini, hadeeeuuh, untunglah tidak demikian dengan
buku ini :D.
Dialek kedaerahannya juga sangat
pas, tidak berkesan ‘maksa’. Saya rasa bukan hal yang aneh jika para mahasiswa
mempertahankan bahasa ibunya meski ia sudah di tanah rantau. Dan novel ini
mencoba menggambarkan realita tersebut. Mengingat 6 tokoh utama di novel ini
berasal dari 5 suku yang berbeda, otomatis ada 5 bahasa daerah yang muncul.
Nah, supaya pembaca tidak bingung, ada catatan kaki untuk menampilkan
terjemahannya. Menurut saya, dialek kedaerahan ini muncul dalam takaran yang
pas. Jadi, saya tidak merasa terlalu dibanjiri dengan catatan kaki terjemahan.
Beberapa kali muncul sih J word (yang orang Jatim pasti ngerti, yang bukan
orang Jatim silahkan tanya ke orang Jatim apa itu J word xD ). Mungkin sebagian
merasa terganggu dengan istilah ini, tapi kalo saya menganggapnya suatu hal
yang lumrah karena faktanya dulu teman-teman cowok di kampus saya pun kerap
melontarkan istilah ini x).
Kalo dari segi kekuatan isi, hmm
ini yang menurut saya agak kurang. Novel ini kurang ‘makjleb’ dalam
menceritakan perjuangan para tokohnya bertahan di ITB. Saya merasa penulis
justru lebih menonjolkan unsur percintaan di antara para tokohnya. Memang sih,
kalo melihat cover-nya, novel ini mengangkat tagline “bahwa cinta itu ada”. Tapi makna cinta yang diangkat dalam
novel ini menurut saya masih terlalu dangkal dengan konflik-konflik percintaan
yang sinetron banget. Ada yang tokohnya ketemu jodoh gak sengaja di bis, ada
yang (gak sengaja juga) di restoran, ada yang dijodohkan dengan sepupunya, ada
yang selingkuh lalu tobat gara-gara istri dan anaknya meninggal (pas baca
fragmen ini berasa nonton Rahasia Illahi :p), dan tentu nggak ketinggalan dua
diantara keenam tokoh tersebut ternyata berjodoh,, saya pikir ide-ide ini sudah
pernah diangkat di sinetron semua deh. Dan ‘uniknya’, semua konflik itu
dicampur jadi satu di novel yang tebalnya ‘hanya’ 390 halaman ini. Yah, mungkin
kalo halamannya lebih tebel, konflik-konflik itu bisa tersaji sedikit lebih
dalam, dan saya jadi tidak memvonisnya sebagai konflik sinetron karena mungkin
ada yang berbeda dan bikin ‘ngena’ dalam gaya penceritaannya. Sayang, itu cuma
ada dalam angan saya saja.
Selain itu, jujur saya lumayan
terganggu dengan banyaknya lelucon yang saru dalam novel ini. Saya gak akan mempermasalahkan kalo lelucon seperti
ini hanya muncul 1 atau 2 kali saja, mungkin sebagai cara untuk menunjukkan
sisi kemanusiawian para tokohnya yang notabene masih muda. Saya akan acungkan
jempol malah karena hal ini berarti penulis benar-benar total menggarap
karyanya, tidak jaim dan tidak sungkan mengungkap sedikit sisi ‘nakal’ ITB.
Tapi, saya nilai penulis terlalu over
di sisi ini, sehingga *jujur lagi nih ya* saya jadi bertanya-tanya : apakah
civitas akademika ITB tidak ada yang berkeberatan? Terlebih, jelas-jelas novel
ini didedikasikan untuk perayaan ulang tahun emas ITB. Tidak adakah jokes lain yang lebih sopan yang bisa
diangkat? Yang paling bikin saya kesel itu fragmen di halaman 87 sampai 89,
sebuah fragmen yang terjadi saat keenam tokoh sedang di tengah-tengah
perjalanan menuju gua Jepang. Gak usah saya sebutin ya fragmennya apa, yang
pasti fragmen itu sangat merendahkan derajat wanita, dan saya dibuat kesal
karena fragmen itu sebenarnya sama sekali gak berhubungan dengan benang merah
cerita, tanpa fragmen itupun novel ini bakal tetep utuh, tapi koq ya kenapa ditongolin?
-____- Hanya sekedar menambah humor-kah? Saya cuma kasian dengan tokoh
perempuan yang jadi korban di fragmen ini. Iya, saya tahu, dia cuma tokoh
fiktif, tapi mau tidak mau setiap pembaca akan memvisualisasikan setiap adegan
yang ia baca dalam benaknya. Dan, sekali lagi, tanpa fragmen ini pun keutuhan
cerita dalam novel tidak akan rusak, jadi gak usah lah ya menambahkan
visualisasi yang hanya merendahkan derajat kaum wanita saja.
Eh iya, selain fragmen itu,
sebenarnya ada beberapa fragmen lain di novel ini yang berkesan ‘numpang lewat’
saja. Tapi untuk yang lain mah saya gak kesel koq, karena gak saru ! Contoh
fragmen ‘asal lewat’ yang bikin saya sedikit mengerutkan dahi :
Saat di bis dari Trenggalek
menuju ITB, Slamet melihat ada telur asin tergeletak dan dinarasikan bahwa ia
tergoda untuk mengambilnya, tapi hati nuraninya tidak berkenan. Titik tok cuma
itu tanpa ada ending siapakah yang memenangkan pergulatan dalam hati Slamet :
hawa nafsunya atau hati nuraninya? *aseek dah bahasanya* Lalu, di bab berikutnya
saat fragmen pendaftaran ulang di ITB, Slamet dikisahkan menenteng bungkusan
telur asin. Lah saya kan jadi bertanya-tanya, itu dapet beli atauuuu??? #iyaa,
saya tahu ini bukan detil yang penting,tapi saya penasaran X)
Tanpa sadar, ternyata saya sudah
ngoceh banyak banget tentang poin minus novel ini :3 Tenang pak penulis, saya
reviewer yang adil kok, sekarang tinggal saya jabarkan poin-poin yang saya suka
yaaa :))
Pertama, saya sukaaa banget
dengan fragmen yang menceritakan kisah pendudukan kampus ITB oleh tentara pada
tahun …. . Gaya penceritaannya membuat saya merasa benar-benar diterbangkan ke
masa itu : melihat bagaimana detik demi detik proses pendudukannya, merasakan
emosi para ITB-ers saat berusaha berjuang mempertahankan kampusnya, jatuh simpati
pada kloter pertama tentara yang diutus menduduki (karena mereka tidak
sewenang-wenang dan memilih bersikap persuasif), dan mengutuk rombongan tentara
kloter kedua yang bertindak bak tiran. Jujur, saya baru tahu dari novel ini
bahwa ITB pernah mengalami sejarah kelam tersebut, sebuah sejarah yang teramat
sangat mencoreng kedaulatan dunia pendidikan.
Kedua, saya juga suka pake double
banget dengan puisi yang ada di bab terakhir, sebuah puisi yang ditulis oleh
angkatan 77 ITB, judulnya : “Selamat Pagi Indonesia”. Saya share disini ya
puisinya, silahkan menikmati :)
Selamat pagi Indonesia
Selamat pagi Indonesia
Kami termasuk 80% rakyatmu
Yang rajin bangun pagi
Yang tidak pernah gentar
Bangun lebih dahulu dari matahari
Selamat pagi Indonesia
Di bumimu kami berdiri
Dengan mengepal segenggam ‘kesungguhan’
Yang kami dekap erat
Tepat di jantung kamu berdetak
Menapaki hari demi hari
Selamat pagi Indonesia
Di bumimu keringat kali jatuh Kami bekerja keras pantang mengeluh
Tak perlu diajari lagi!
Karena kerja keras adalah napas kami
Selamat pagi Indonesia
Merah-putihmu berkibar di hati
Kerja bagi kami adalah harga diri
Kerja bagi kami
Adalah mengerahkan kekuatan kami sendiri
Karena kami tidak sudi korupsi!
Selamat pagi Indonesia
Kerja adalah kebanggaan kami
Demi sebuah eksistensi
Selamat pagi Indonesia
Gimana? Manis kan? Sederhana
namun makjleb kalo untuk saya.
Kenapa? Karena saya percaya bahwa perubahan besar itu tak harus selalu berawal
dari perbuatan besar. Perbuatan sederhana, sesederhana kebiasaan bangun pagi
pun bisa berpengaruh lho ke kinerja seseorang.
Cocok nih ditempel di meja kerja
sebagai penyemangat kalo lagi males *eh :P
Tapi kalo dinilai secara
keseluruhan, buku ini bisa dibilang setara ekspektasi saya (karena saya juga
tidak menaruh ekspektasi tinggi terhadapnya :p). Sebenarnya ada 1 poin lagi
yang sesungguhnya bisa menjadi bahan penilaian novel ini, yakni sisi
sentimentilnya. Sejauh apakah buku ini mampu membangkitkan kenangan para
ITB-ers terhadap almameternya? Jelas, saya tidak bisa menilai karena saya bukan
bagian dari mereka. Jadi, book-meter buku ini untuk saya :
*2 bintang untuk novelnya plus
bonus 1 bintang khusus untuk Selamat Pagi Indonesia-nya :D
P.s : credit untuk yang sudah
rela meminjamkan novel ini ke saya padahal dia sendiri belum selesai baca xD
Review ini juga dibuat dalam rangka mengikuti :
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komen :)