Sophie,
seorang pelajar sekolah menengah berusia empat belas tahun. Suatu hari sepulang
sekolah, dia mendapat sebuah surat misterius yang hanya berisikan satu
pertanyaan : “Siapa kamu?”
Belum
habis keheranannya, pada hari yang sama dia mendapat surat lain yang bertanya :
“Dari manakah datangnya dunia?”
Seakan
tersentak dari rutinitas hidup sehari-hari, surat-surat itu membuat Sophie
mulai mempertanyakan soal-soal mendasar yang tak pernah dipikirkannya selama
ini. Dia mulai belajar filsafat.
***
Sebelum masuk ke review, saya mau
ngucapin terima kasih dulu buat Perpustakaan Kementerian Keuangan yang telah
meminjamkan buku ini (ceritanya sekalian promo :p), sebuah buku yang awalnya nggak pernah saya lirik, tapi
koq saya tertarik setelah membaca ulasan salah satu anggota BeBI (mbak Dessy)
yang pernah ketemu langsung dengan penulisnya, Jostein Gaarder :)). Saya
penasaran karena mbak Dessy bilang dia menjadi tergila-gila akan filsafat
setelah membaca novel ini. Selain itu, dia juga bela-belain datang ke Depok
saat Jostein Gaarder diundang menjadi dosen tamu di UI. Hmm, harusnya ini
adalah sebuah novel yang hebat dong? Ditambah lagi, blurb di belakang novelnya
juga lumayan ‘mengundang’.
Cukup lama juga waktu yang saya
butuhin buat menyelesaikan membaca novel setebal 798 halaman ini, kalo gak
salah sekitar 12 hari. Maklum, novelnya lebih sering saya baca pas malam hari
aja ketika suasana sudah benar-benar tenang. Yap, novel ini menurut saya kurang
asyik kalo dibaca di tengah keramaian karena kita *atau cuma saya? :p* butuh
konsentrasi yang cukup tinggi untuk meresapi maknanya.
Sesuai blurb-nya, novel ini dibuka dengan adegan Sophie menemukan 2 surat
misterius (tanpa nama pengirim dan cap pos) di kotak pos rumahnya sendiri.
Ternyata, gak cuma 2 surat itu saja yang diterimanya pada hari itu, ada 1 lagi
surat yang berisi ucapan selamat ulang tahun untuk Hilde Moller Knag, namun
dialamatkan kepada Sophie. Tentu saja ketiga surat itu membuat Sophie bingung.
Siang
ini, dalam waktu hanya dua jam, dia telah dihadapkan dengan tiga masalah.
Masalah pertama adalah siapa yang telah meletakkan dua amplop putih di kotak
suratnya. Yang kedua adalah pertanyaan-pertanyaan sulit yang tertulis dalam
kedua surat tersebut. Masalah ketiga adalah siapakah Hilde Moller Knag, dan
mengapa Sophie yang dikirimi kartu ulang tahunnya. (Hal. 36-37)
Berawal dari ketiga surat inilah
petualangan Sophie mempelajari ilmu filsafat dimulai. Saat Sophie benar-benar kebingungan memikirkan jawaban atas pertanyaan
filosofis dalam surat misterius itu, tiba-tiba Sophie menemukan satu surat
lagi, kali ini jauuh lebih tebal, karena isinya adalah jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan misterius tersebut. Begitulah, dalam bab-bab awal buku
ini, Sophie dikisahkan menerima pelajaran filsafat melalui media surat. Ritmenya
hampir selalu sama, diawali dengan surat pendek berisi pertanyaan misterius,
lantas disusul dengan surat panjang yang berisikan uraian jawabannya
berdasarkan pemikiran filsuf-filsuf tertentu. Pelajaran filsafatnya sendiri
dimulai dari penjelasan mengenai apa itu filsafat. Sejujurnya, sebelum membaca
buku ini, yang saya pahami tentang filsafat hanyalah sebatas kalimat-kalimat
puitis yang hmmm bisa dikatakan hanya sebuah awang-awang tanpa memiliki fungsi
nyata di dunia realis ini *maafkan saya om filsuf terlalu merendahkan Anda ^^v
Menurut saya, Jostein Gaarder
sangat tepat memilih gadis berumur empat belas tahun sebagai tokoh utama novel
ini. Usia empat belas tahun, usia yang sudah bukan lagi kanak-kanak, namun juga
belum tepat dianggap dewasa. Ia masih memiliki sifat rasa ingin tahu yang
tinggi khas kanak-kanak, dan sebelum rasa ini ‘dibekukan’ oleh pertambahan
usianya datanglah seseorang misterius memberikan pelajaran filsafat bagi sang
tokoh utama, Sophie.
Bagi
anak-anak, dunia dan segala sesuatu didalamnya itu baru, sesuatu yang
membangkitkan keheranan mereka. Tidak demikian halnya bagi orang-orang dewasa. Kebanyakan orang dewasa menerima dunia
sebagai sesuatu yang sudah selayaknya demikian. Waspadalah! Kamu berada di
atas lapisan es yang tipis. Dan, inilah sebabnya kamu menerima pelajaran
filsafat ini, hanya untuk berjaga-jaga saja. Aku tidak akan membiarkanmu,
diantara semua orang lain, ikut berjajar
bersama mereka yang apatis dan acuh tak acuh. Aku ingin kamu selalu tahu.
(Hal. 49-50)
Pelajaran pun terus bergulir, dimulai dari
cerita mengenai pemikiran para filsuf paling awal di Yunani, pada tahun 570SM.
Filsuf-filsuf paling awal ini mempertanyakan kebenaran mitos-mitos.
Untuk
pertama kalinya dikatakan bahwa mitos-mitos itu tidak lain hasil dari pemikiran
manusia (Hal.
61)
Tujuan
para filosof Yunani awal adalah menemukan penjelasan-penjelasan alamiah, dan
bukannya supranatural untuk berbagai proses alam. (Hal. 62)
Yap, dari novel ini saya jadi
tahu bahwa berbagai teori dalam ilmu Sains sesungguhnya berakar dari
pertanyaan-pertanyaan nyeleneh para filosof. Membaca novel ini kita seolah
diajak menyusuri jalan berpikir para filosof semenjak 3.000 tahun yang lalu.
Kita jadi tahu bukan hanya hasil pemikiran mereka, namun kita juga tahu apa
yang sebenarnya awalnya mereka pertanyakan sampai kemudian mendapatkan suatu
simpulan. Berbagai teori asal-muasal alam semesta, teori gravitasi, teori
Darwin, dan aneka teori-teori sains lainnya diuraikan dengan teramat sangat
apik dan sistematis di sepanjang novel ini. Bahkan, saya baru tahu ternyata
dunia filsafat juga-lah yang menghasilkan karya-karya musik klasik (Siapa yang
tidak kenal Beethoven dan Bach? Voila, ternyata mereka adalah filosof :D),
menghasilkan pemikiran tentang sistem ketatanegaraan trias politica, serta mendorong lahirnya gerakan Revolusi Prancis.
Semua hal itu diuraikan bukan dengan cara yang monoton, tetapi dengan
cara bak mengajar seorang murid SD, penuh dengan cerita ilustrasi. Saya sih
bukan orang yang paham filsafat,tapi saya yakin apa yang diuraikan Gaarder
lewat novelnya ini benar-benar sesuai dengan esensi teoritisnya, sebab mengutip
komentar The Sunday Times “Jostein Gaarder berhasil meringkas 3.000 tahun
sejarah pemikiran; menyederhanakan argumen-argumen yang sangat rumit tanpa merusaknya”.
Gak diragukan lagi, Dunia Sophie
adalah novel yang saaangat berisi. Hmm, mungkin timbul pertanyaan, sedemikian
berisinya novel ini, apakah tidak membosankan untuk dibaca?
Jujur, iya untuk bab-bab awal :(
Permulaan kisahnya sih bagus, dengan kiasan ‘topi pesulap’ dan kelinci-nya,
Garder berhasil membuat saya mulai penasaran dengan pemikiran-pemikiran
filsafat. Tetapi, lama-kelamaan saya bosan karena Sophie hanya memperoleh
pembelajaran filsafat lewat surat. Masih tetap menarik sih cara penguraian ilmu
filsafatnya, tapi saya berpikir “plis deh, ini kan novel, masa iya novel
setebal ini hanya bercerita tentang tokoh utamanya yang membaca dan membaca
surat-surat aja”. Hampir saja saya melabeli karya Garder ini dengan 1 kalimat :
bukan novel, hanya sebuah buku diktat filsafat yang asyik.
Untunglah, sebelum label itu saya
tempelkan, mulai ada adegan yang bervariasi. Tepatnya,pada bab 8, dimana sang
guru filosof misterius (yang bernama Alberto Knox) akhirnya mulai menampakkan
jati dirinya pada Sophie, walaupun kali ini baru melalui rekaman video. Pada
video tersebut digambarkan Knox sedang berada di Acropolis, pusat peradaban
Yunani pada masa lampau. Beneran deh, penggambaran Garder tentang kota
Acropolis bikin saya mupeng pengen kesana >,<
Kemudian, mulai bab ke-15, Knox
benar-benar menampakkan diri di hadapan Sophie. Sejak saat itu, Knox tidak lagi
menjadi sosok yang misterius. Ia memberikan pelajaran filsafat langsung pada
Sophie. Nah, mulai bab ini menjadi jauh lebih menarik lagi, karena teori-teori
filsafat dijelaskan bukan hanya melalui dialogis, tapi juga melalui
percobaan-percobaan yang ditunjukkan oleh Knox ke Sophie.
Tapi, menurut saya novel ini bisa
menjadi jauh lebih menarik *walaupun efeknya mungkin jadi lebih tebal* apabila
kehidupan ‘normal’ Sophie dengan keluarga dan teman-temannya diberikan porsi
lebih. Jadi, keseharian Sophie gak hanya diisi dengan pelajaran-pelajaran
filsafatnya itu. Contohnya gimane? Aah, Oom Garder pasti lebih tahu *aselinya
sih saya gak bisa ngasih contoh :p* Tapi serius deh, saya merasa hubungan
Sophie dengan ibunya terlampau kaku, apa emang adat di Norwegia gitu yak? *baru
sekali baca novel yang penulisnya orang Norweg ^^v
Hal yang agak aneh *atau sangat
aneh??* buat saya terjadi mulai halaman 524, saat tetiba muncul Winnie the Pooh
dalam cerita. Ooh om Garder, daya khayal anda sungguh tinggi, dari filsafat
bisa meloncat ke tokoh beruang unyu itu, how could it be? *geleng-geleng gak
habis pikir* Seakan belum cukup, masih dimunculkan pula aneka tokoh Disney
lainnya, mulai dari Aladin, Gadis Penjual Korek Api, Cinderella, dan banyak
lagi yang lain. Iya siih, ini menjadi semacam pengantar untuk menceritakan
tokoh filsuf di zaman Romantisisme yang banyak menciptakan karya sastra, tapii
tapii apa perlu dimunculin juga tokoh-tokoh dongengnya? Bayar royalty ke Oom
Walt Disney-nya gak mahal kah? *eh :D
si ndut ini ikut ngeksis di Dunia Sophie :p |
Oh iya, seperti yang sudah saya
sebutin di awal, di sepanjang novel ini Sophie juga kerap menerima ‘teror’
berupa surat kaleng dari Albert Knaag yang sebenarnya ditujukan untuk Hilde.
Nah loh, siapakah mereka?? Alberto Knox dan Albert Knaag, mungkinkah
sesungguhnya mereka adalah orang yang sama??
Spoiler dikit deh : tidak, mereka
BUKAN orang yang sama. Hayoo, spoilernya malah bikin tambah penasaran kan? :p
Kejutan besar-besaran terjadi dihalaman
548, kejutan yang sungguh me-logis-kan semua kebingungan saya tentang
tokoh-tokoh aneh bin ajaib yang saya ceritakan tadi. Sebuah kejutan yang
menjawab identitas Hilde dan Albert Knaag. Sebuah kejutan yang juga mengandung
makna filosofis. Kejutan yang cukup men-jungkirbalik-kan penuturan dalam 27 bab
sebelumnya, dan membuat kita memandang 8 bab berikutnya dengan sudut pandang
yang berbeda.
Yaah, akhirnya saya harus
mengakui kalau karya Garder ini bukan sekedar buku diktat yang asyik, tapi
novel yang sungguh kaya isi bahkan cukup mengecoh. Ditutup dengan penjelasan
mengenai Dentuman Besar, novel ini sungguh brilian :-)
Saatnya memberi penilaian :D
Book-meter untuk buku ini adalah :
Cukup 4 bintang, karena saya
merasa bosan di bagian awal :p
P.S. : beberapa teori filsafat
yang diuraikan novel ini mungkin ada yang bertentangan dengan ajaran agama,
termasuk dengan ajaran agama Islam. Mizan selaku penerbit novel ini telah
memberikan peringatan dalam pengantarnya, bahwa ada bias Barat yang cukup
kental, terutama dalam pemaparan mengenai peristiwa penyaliban Nabi Isa A.S.
Untuk bias-bias seperti ini, tak perlu merasa antipati, cukup jadikan sebagai
sesuatu yang menambah wawasan :))
Btw btw, saya sukaa deh dengan
cover novel terbitan Mizan yang saya pinjam ini, kebetulan versi Gold Edition.
Di bagian covernya itu terdapat bulatan-bulatan seperti lampion, yang kalo
ditaro di tempat gelap bisa menyala, cantiik :’) itu spek-nya dari bahan apa
yak? reflective sheeting apa glow in the dark? *dasar anak pengadaan*
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komen :)