Rabu, 17 Juli 2013

Dunia Sophie (Jostein Gaarder, 1991)



Sophie, seorang pelajar sekolah menengah berusia empat belas tahun. Suatu hari sepulang sekolah, dia mendapat sebuah surat misterius yang hanya berisikan satu pertanyaan : “Siapa kamu?”

Belum habis keheranannya, pada hari yang sama dia mendapat surat lain yang bertanya : “Dari manakah datangnya dunia?”



Seakan tersentak dari rutinitas hidup sehari-hari, surat-surat itu membuat Sophie mulai mempertanyakan soal-soal mendasar yang tak pernah dipikirkannya selama ini. Dia mulai belajar filsafat.

***



Sebelum masuk ke review, saya mau ngucapin terima kasih dulu buat Perpustakaan Kementerian Keuangan yang telah meminjamkan buku ini (ceritanya sekalian promo :p), sebuah buku yang awalnya nggak pernah saya lirik, tapi koq saya tertarik setelah membaca ulasan salah satu anggota BeBI (mbak Dessy) yang pernah ketemu langsung dengan penulisnya, Jostein Gaarder :)). Saya penasaran karena mbak Dessy bilang dia menjadi tergila-gila akan filsafat setelah membaca novel ini. Selain itu, dia juga bela-belain datang ke Depok saat Jostein Gaarder diundang menjadi dosen tamu di UI. Hmm, harusnya ini adalah sebuah novel yang hebat dong? Ditambah lagi, blurb  di belakang novelnya juga lumayan ‘mengundang’.

Cukup lama juga waktu yang saya butuhin buat menyelesaikan membaca novel setebal 798 halaman ini, kalo gak salah sekitar 12 hari. Maklum, novelnya lebih sering saya baca pas malam hari aja ketika suasana sudah benar-benar tenang. Yap, novel ini menurut saya kurang asyik kalo dibaca di tengah keramaian karena kita *atau cuma saya? :p* butuh konsentrasi yang cukup tinggi untuk meresapi maknanya.

Sesuai blurb-nya, novel ini dibuka dengan adegan Sophie menemukan 2 surat misterius (tanpa nama pengirim dan cap pos) di kotak pos rumahnya sendiri. Ternyata, gak cuma 2 surat itu saja yang diterimanya pada hari itu, ada 1 lagi surat yang berisi ucapan selamat ulang tahun untuk Hilde Moller Knag, namun dialamatkan kepada Sophie. Tentu saja ketiga surat itu membuat Sophie bingung.

Siang ini, dalam waktu hanya dua jam, dia telah dihadapkan dengan tiga masalah. Masalah pertama adalah siapa yang telah meletakkan dua amplop putih di kotak suratnya. Yang kedua adalah pertanyaan-pertanyaan sulit yang tertulis dalam kedua surat tersebut. Masalah ketiga adalah siapakah Hilde Moller Knag, dan mengapa Sophie yang dikirimi kartu ulang tahunnya. (Hal. 36-37)

Berawal dari ketiga surat inilah petualangan Sophie mempelajari ilmu filsafat dimulai. Saat Sophie benar-benar  kebingungan memikirkan jawaban atas pertanyaan filosofis dalam surat misterius itu, tiba-tiba Sophie menemukan satu surat lagi, kali ini jauuh lebih tebal, karena isinya adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan misterius tersebut. Begitulah, dalam bab-bab awal buku ini, Sophie dikisahkan menerima pelajaran filsafat melalui media surat. Ritmenya hampir selalu sama, diawali dengan surat pendek berisi pertanyaan misterius, lantas disusul dengan surat panjang yang berisikan uraian jawabannya berdasarkan pemikiran filsuf-filsuf tertentu. Pelajaran filsafatnya sendiri dimulai dari penjelasan mengenai apa itu filsafat. Sejujurnya, sebelum membaca buku ini, yang saya pahami tentang filsafat hanyalah sebatas kalimat-kalimat puitis yang hmmm bisa dikatakan hanya sebuah awang-awang tanpa memiliki fungsi nyata di dunia realis ini *maafkan saya om filsuf terlalu merendahkan Anda ^^v

Menurut saya, Jostein Gaarder sangat tepat memilih gadis berumur empat belas tahun sebagai tokoh utama novel ini. Usia empat belas tahun, usia yang sudah bukan lagi kanak-kanak, namun juga belum tepat dianggap dewasa. Ia masih memiliki sifat rasa ingin tahu yang tinggi khas kanak-kanak, dan sebelum rasa ini ‘dibekukan’ oleh pertambahan usianya datanglah seseorang misterius memberikan pelajaran filsafat bagi sang tokoh utama, Sophie.

Bagi anak-anak, dunia dan segala sesuatu didalamnya itu baru, sesuatu yang membangkitkan keheranan mereka. Tidak demikian halnya bagi orang-orang dewasa. Kebanyakan orang dewasa menerima dunia sebagai sesuatu yang sudah selayaknya demikian. Waspadalah! Kamu berada di atas lapisan es yang tipis. Dan, inilah sebabnya kamu menerima pelajaran filsafat ini, hanya untuk berjaga-jaga saja. Aku tidak akan membiarkanmu, diantara semua orang lain, ikut berjajar bersama mereka yang apatis dan acuh tak acuh. Aku ingin kamu selalu tahu. (Hal. 49-50)

 Pelajaran pun terus bergulir, dimulai dari cerita mengenai pemikiran para filsuf paling awal di Yunani, pada tahun 570SM. Filsuf-filsuf paling awal ini mempertanyakan kebenaran mitos-mitos.

Untuk pertama kalinya dikatakan bahwa mitos-mitos itu tidak lain hasil dari pemikiran manusia (Hal. 61)

Tujuan para filosof Yunani awal adalah menemukan penjelasan-penjelasan alamiah, dan bukannya supranatural untuk berbagai proses alam. (Hal. 62)

Yap, dari novel ini saya jadi tahu bahwa berbagai teori dalam ilmu Sains sesungguhnya berakar dari pertanyaan-pertanyaan nyeleneh para filosof. Membaca novel ini kita seolah diajak menyusuri jalan berpikir para filosof semenjak 3.000 tahun yang lalu. Kita jadi tahu bukan hanya hasil pemikiran mereka, namun kita juga tahu apa yang sebenarnya awalnya mereka pertanyakan sampai kemudian mendapatkan suatu simpulan. Berbagai teori asal-muasal alam semesta, teori gravitasi, teori Darwin, dan aneka teori-teori sains lainnya diuraikan dengan teramat sangat apik dan sistematis di sepanjang novel ini. Bahkan, saya baru tahu ternyata dunia filsafat juga-lah yang menghasilkan karya-karya musik klasik (Siapa yang tidak kenal Beethoven dan Bach? Voila, ternyata mereka adalah filosof :D), menghasilkan pemikiran tentang sistem ketatanegaraan trias politica, serta mendorong lahirnya gerakan Revolusi Prancis. 

Semua hal itu diuraikan bukan dengan cara yang monoton, tetapi dengan cara bak mengajar seorang murid SD, penuh dengan cerita ilustrasi. Saya sih bukan orang yang paham filsafat,tapi saya yakin apa yang diuraikan Gaarder lewat novelnya ini benar-benar sesuai dengan esensi teoritisnya, sebab mengutip komentar The Sunday Times “Jostein Gaarder berhasil meringkas 3.000 tahun sejarah pemikiran; menyederhanakan argumen-argumen yang sangat rumit tanpa merusaknya”.

Gak diragukan lagi, Dunia Sophie adalah novel yang saaangat berisi. Hmm, mungkin timbul pertanyaan, sedemikian berisinya novel ini, apakah tidak membosankan untuk dibaca?

Jujur, iya untuk bab-bab awal :( Permulaan kisahnya sih bagus, dengan kiasan ‘topi pesulap’ dan kelinci-nya, Garder berhasil membuat saya mulai penasaran dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Tetapi, lama-kelamaan saya bosan karena Sophie hanya memperoleh pembelajaran filsafat lewat surat. Masih tetap menarik sih cara penguraian ilmu filsafatnya, tapi saya berpikir “plis deh, ini kan novel, masa iya novel setebal ini hanya bercerita tentang tokoh utamanya yang membaca dan membaca surat-surat aja”. Hampir saja saya melabeli karya Garder ini dengan 1 kalimat : bukan novel, hanya sebuah buku diktat filsafat yang asyik.

Untunglah, sebelum label itu saya tempelkan, mulai ada adegan yang bervariasi. Tepatnya,pada bab 8, dimana sang guru filosof misterius (yang bernama Alberto Knox) akhirnya mulai menampakkan jati dirinya pada Sophie, walaupun kali ini baru melalui rekaman video. Pada video tersebut digambarkan Knox sedang berada di Acropolis, pusat peradaban Yunani pada masa lampau. Beneran deh, penggambaran Garder tentang kota Acropolis bikin saya mupeng pengen kesana >,< 

Kemudian, mulai bab ke-15, Knox benar-benar menampakkan diri di hadapan Sophie. Sejak saat itu, Knox tidak lagi menjadi sosok yang misterius. Ia memberikan pelajaran filsafat langsung pada Sophie. Nah, mulai bab ini menjadi jauh lebih menarik lagi, karena teori-teori filsafat dijelaskan bukan hanya melalui dialogis, tapi juga melalui percobaan-percobaan yang ditunjukkan oleh Knox ke Sophie.

Tapi, menurut saya novel ini bisa menjadi jauh lebih menarik *walaupun efeknya mungkin jadi lebih tebal* apabila kehidupan ‘normal’ Sophie dengan keluarga dan teman-temannya diberikan porsi lebih. Jadi, keseharian Sophie gak hanya diisi dengan pelajaran-pelajaran filsafatnya itu. Contohnya gimane? Aah, Oom Garder pasti lebih tahu *aselinya sih saya gak bisa ngasih contoh :p* Tapi serius deh, saya merasa hubungan Sophie dengan ibunya terlampau kaku, apa emang adat di Norwegia gitu yak? *baru sekali baca novel yang penulisnya orang Norweg ^^v

Hal yang agak aneh *atau sangat aneh??* buat saya terjadi mulai halaman 524, saat tetiba muncul Winnie the Pooh dalam cerita. Ooh om Garder, daya khayal anda sungguh tinggi, dari filsafat bisa meloncat ke tokoh beruang unyu itu, how could it be? *geleng-geleng gak habis pikir* Seakan belum cukup, masih dimunculkan pula aneka tokoh Disney lainnya, mulai dari Aladin, Gadis Penjual Korek Api, Cinderella, dan banyak lagi yang lain. Iya siih, ini menjadi semacam pengantar untuk menceritakan tokoh filsuf di zaman Romantisisme yang banyak menciptakan karya sastra, tapii tapii apa perlu dimunculin juga tokoh-tokoh dongengnya? Bayar royalty ke Oom Walt Disney-nya gak mahal kah? *eh :D

si ndut ini ikut ngeksis di Dunia Sophie :p


Oh iya, seperti yang sudah saya sebutin di awal, di sepanjang novel ini Sophie juga kerap menerima ‘teror’ berupa surat kaleng dari Albert Knaag yang sebenarnya ditujukan untuk Hilde. Nah loh, siapakah mereka?? Alberto Knox dan Albert Knaag, mungkinkah sesungguhnya mereka adalah orang yang sama??
Spoiler dikit deh : tidak, mereka BUKAN orang yang sama. Hayoo, spoilernya malah bikin tambah penasaran kan? :p

Kejutan besar-besaran terjadi dihalaman 548, kejutan yang sungguh me-logis-kan semua kebingungan saya tentang tokoh-tokoh aneh bin ajaib yang saya ceritakan tadi. Sebuah kejutan yang menjawab identitas Hilde dan Albert Knaag. Sebuah kejutan yang juga mengandung makna filosofis. Kejutan yang cukup men-jungkirbalik-kan penuturan dalam 27 bab sebelumnya, dan membuat kita memandang 8 bab berikutnya dengan sudut pandang yang berbeda.

Yaah, akhirnya saya harus mengakui kalau karya Garder ini bukan sekedar buku diktat yang asyik, tapi novel yang sungguh kaya isi bahkan cukup mengecoh. Ditutup dengan penjelasan mengenai Dentuman Besar, novel ini sungguh brilian :-)

Saatnya memberi penilaian :D Book-meter untuk buku ini adalah :


Cukup 4 bintang, karena saya merasa bosan di bagian awal :p

P.S. : beberapa teori filsafat yang diuraikan novel ini mungkin ada yang bertentangan dengan ajaran agama, termasuk dengan ajaran agama Islam. Mizan selaku penerbit novel ini telah memberikan peringatan dalam pengantarnya, bahwa ada bias Barat yang cukup kental, terutama dalam pemaparan mengenai peristiwa penyaliban Nabi Isa A.S. Untuk bias-bias seperti ini, tak perlu merasa antipati, cukup jadikan sebagai sesuatu yang menambah wawasan :))

Btw btw, saya sukaa deh dengan cover novel terbitan Mizan yang saya pinjam ini, kebetulan versi Gold Edition. Di bagian covernya itu terdapat bulatan-bulatan seperti lampion, yang kalo ditaro di tempat gelap bisa menyala, cantiik :’) itu spek-nya dari bahan apa yak? reflective sheeting apa glow in the dark? *dasar anak pengadaan*

Review ini juga dibuat dalam rangka mengikuti :

 

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komen :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
back to top
 

Boekenliefhebber Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Tadpole's Notez Flower Image by Dapino