Senin, 03 Februari 2014

[Review #3] Teatrikal Hati





Novel ini diawali dengan kisah Zahra, seorang produser wanita berusia menjelang 30, yang mendapat tantangan dari atasannya untuk membuat sebuah film bertema humanis. Bagi Zahra, ini adalah sebuah tantangan besar karena perusahaan perfilman tempatnya bekerja dikenal idealis dan memiliki standar tinggi dalam memproduksi film. Apalagi, Zahra hanya diberikan waktu 4 bulan untuk menggarap proyek film humanis ini. Padahal, ide ceritanya saja ia belum punya.



Untunglah, tidak lama kemudian Zahra teringat sebuah novel yang pernah ditulis Ibundanya, berjudul Lelaki Hatiku. Ditambah dengan 4 buah diary pribadi milik Ibundanya juga, Zahra memutuskan membuat sebuah film tentang perjalanan cinta yang dulu dialami oleh ibunya, tantenya, serta neneknya. Lewat tema ini, Zahra ingin menyampaikan pesan bagaimana ibu, tante, dan neneknya memaknai cinta, dengan segala problemanya.



Ada tiga problema cinta utama dalam novel ini. Klasik sebenarnya. Namun entah mengapa, problema itu sampai sekarang masih sering menimpa umat manusia.



Setyani, nenek Zahra, harus ikhlas menerima takdir bersuamikan seorang pemabuk, suka main perempuan, serta tak sungkan menganiaya fisik istri dan anak-anaknya. Bodohkah Setyani jika ia tetap memilih bertahan?




Linda Arum, ibunda Zahra, tak bisa mengelak ketika dijodohkan dengan seorang dokter yang kaku. Linda menerima perjodohan itu semata-mata hanya ingin menyenangkan hati ibundanya yang selama ini sudah kerap menderita akibat perlakuan sang ayah. Suami Linda memang tak seburuk ayahnya, namun ia tak pandai bersikap hangat pada sang istri. Ditambah lagi, hingga lebih dari sepuluh tahun usia pernikahan mereka, Alloh tak kunjung mengkaruniai momongan hingga Linda merasa gersang. Apakah memang janji indah pernikahan itu hanya ada dalam novel?



Gwen, tante Zahra, memilih single hingga usianya lebih dari kepala tiga. Gwen trauma melihat kehidupan rumah tangga ibu dan ayahnya. Dan Gwen makin tak percaya bahwa pernikahan mampu menjanjikan kebahagiaan saat menyaksikan rumah tangga kakaknya yang 'kering'. Akankah Gwen selamanya mengelak menyempurnakan separuh Dien-nya?



Saya setuju jika novel duet ini dikatakan cukup berani. Mengangkat tiga problema cinta sekaligus, yang uniknya dialami oleh seorang ibu dan kedua putrinya. Meski problemanya terbilang klasik, namun penulis mencoba memberikan sudut pandang penyelesaian yang berbeda. Tentang mengapa Setyani memilih bertahan, tentang bagaimana akhirnya Linda mampu menjadikan rumah tangga yang dibangunnya jauh lebih hangat, serta tentang Gwen yang.. Ah sudahlah, saya tak mau memberi spoiler.



Dari cerita ini, kita bisa belajar, bahwa cinta memang tak selamanya manis. Kalau boleh jujur, saya tak selalu setuju dengan pilihan sikap yang diambil para tokoh. Pertama,Setyani yang memilih bertahan. Jelas-jelas pilihan itu sangat merugikan, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi anak-anaknya. Jujur saya kesal, Ibu macam apa yang membiarkan anaknya dipukuli sang ayah >,<. Namun demikian, saya harus mengakui bahwa karakter seperti Setyani ini memang riil terjadi di masyarakat. Faktanya, sangaaat banyak wanita yang memiliki suami kejam juga memilih bertahan seperti Setyani. Memang, mengakhiri bahtera rumah tangga tentu bukan hal yang sederhana. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Tetapi kalau sudah keterlaluan, saya pikir lebih baik disudahi demi masa depan anak-anak. Hal yang unik, penulis tidak menempatkan Setyani sebagai sosok yang tak punya daya tawar. Setyani digambarkan cantik, masih memiliki orang tua yang sayang padanya dan sebenarnya bersedia merangkul andai Setyani mau menceraikan suaminya, dan juga kaya. Namun sayangnya Setyani tidak memanfaatkan daya tawar tersebut. Ia malah memilih pasrah. Padahal kalau saya pikir, andai Setyani berani tegas pada suaminya, bisa saja suaminya itu menjadi sadar karena takut kehilangan sang istri. Secara tidak langsung, ketegasan seorang istri itu juga bukti sayang pada suami lho. Kalaupun memang pada akhirnya sang suami sudah susah diajak kembali ke jalan yang benar, ya setidaknya kita bisa menyelamatkan anak-anak. Kisah dalam novel ini membuktikan, anak-anak yang dibiarkan tumbuh dalam keluarga tak harmonis ternyata lebih rentan mengalami trauma di masa depannya.



Pada karakter Linda (anak pertama Setyani), mungkin trauma itu tak terlalu tampak. Linda dengan mudah mengiyakan saat orang tuanya menjodohkan ia dengan seorang dokter. Sebenarnya, dokter yang menjadi suami Linda ini sangat baik dan betul-betul mencintai Linda. Hanya saja, sang dokter memiliki karakter yang kaku. Nah, kalau menurut saya, ini juga masalah yang tidak terlalu besar andai Linda tak sungkan mengambil inisiatif. Tak ada salahnya koq, perempuan mendahului menggombal, toh sudah berstatus suami-istri. Saya selalu percaya, bahwa romantisme itu bukanlah sifat bawaan, melainkan pembiasaan. Sekaku-kakunya seseorang, jika setiap hari ia digombalin pasti lama-lama akan tergoda juga untuk balas menggombal x). Masalah yang menurut saya lebih berat buat Linda dan suaminya justru berupa belum hadirnya buah hati hingga usia pernikahan yang ke sepuluh. Pada poin ini, penulis menyampaikan pesan bagaimana bersikap ikhlas serta tidak menjadi dengki pada kebahagiaan orang lain. Memang tidak mudah. Terkadang, adaaa saja momen-momen yang tanpa disengaja menohok perasaan Linda dan suaminya. Namun demikian, pelajaran moralnya sangat kuat di bagian ini. Cara Linda dan suaminya melewati masa-masa sulit mereka menurut saya sangat bagus dan patut dicontoh.



Berbeda dengan Linda yang tidak terlalu mengalami trauma, Gwen (putri kedua Setyani) yang dari luar terlihat keras ternyata hatinya lebih rapuh. Gwen sulit mempercayai pria. Nah, saya merasa konflik Gwen ini masih kurang nggreget. Saya berimajinasi, andai karakter Gwen diciptakan sebagai seorang lesbian, mungkin konfliknya akan jauh lebih heboh. Jadi, level traumanya bukan hanya tidak percaya pada lelaki, tetapi sudah pada tahap jijik terhadap kaum adam. Nah, pasti proses menyadarkannya juga jauh lebih susah dan lebih menguras emosi Setyani serta Linda. Kalau dalam konflik yang sekarang, penyelesaian masalahnya agak terlalu mudah. Bahkan, agak terkesan 'fairy-tale' dengan bumbu mimpi papa panda Gwen.



Secara global, tiga permasalahan yang dipaparkan penulis membuat saya sebagai pembaca diajak seimbang dalam memperlakukan cinta. Berhati-hati di awal agar tidak salah pilih seperti Setyani, namun juga jangan terlalu skeptis seperti Gwen karena pada hakikatnya cinta merupakan fitrah manusia. Ketika kita sudah memilih satu cinta, kita pun harus realistis bahwa dalam kehidupan cinta kita mungkin akan hadir ujian. Bersikap ikhlas dan tetap saling menguatkan seperti Linda dan suaminya, itulah jalan terbaik yang bisa kita pilih agar hati senantiasa tentram.



Dari segi cara penulisan, novel ini lumayan enak dibaca. Bahasanya cukup baku tetapi tidak terkesan kaku. POV yang digunakan adalah POV orang pertama dari masing-masing tokoh. POV jenis ini tentu membuat pembaca bisa menyelami masalah dari kacamata masing-masing tokoh. Sedikit saran, ciri bicara yang khas masing-masing tokoh perlu dipertajam disesuaikan dengan karakternya supaya pembaca bisa langsung 'ngeh' tokoh mana yang sedang berbicara. Penceritaan mimpi papa panda yang berulang-ulang juga terlalu membosankan. Saya tahu bahwa penceritaan berulang-ulang itu diperlukan karena memang temanya demikian. Namun, mungkin lebih baik jika tingkat dramatisasi mimpinya dibuat bertahap, tidak sekedar copy paste, sehingga tidak membuat pembaca men-skipnya.



Tentang typo, jujur saya bukan tipe orang yang memperhatikan typo pada saat membaca novel. Namun, dalam novel ini, saya menemukan typo yang sangat mengganggu karena berada pada halaman judul dalam, yakni Teatrikal Hati ditulis Teaterikal Hati. Kemudian, ada jenis font yang tidak konsisten pada bab-bab menjelang akhir. Tentu kesalahan ini sudah menjadi ranah editor (atau percetakan ya?), sehingga tidak akan mengurangi bintang yang saya berikan untuk novel ini.



Tiga bintang untuk tiga wanita dari Wonosalam :).


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Makasih ya mbak sudah baca dan review :)

Posting Komentar

Silahkan komen :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
back to top
 

Boekenliefhebber Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Tadpole's Notez Flower Image by Dapino