Novel ini diawali dengan kisah Zahra,
seorang produser wanita berusia menjelang 30, yang mendapat tantangan dari
atasannya untuk membuat sebuah film bertema humanis. Bagi Zahra, ini adalah
sebuah tantangan besar karena perusahaan perfilman tempatnya bekerja dikenal
idealis dan memiliki standar tinggi dalam memproduksi film. Apalagi, Zahra
hanya diberikan waktu 4 bulan untuk menggarap proyek film humanis ini. Padahal,
ide ceritanya saja ia belum punya.
Untunglah, tidak lama kemudian Zahra
teringat sebuah novel yang pernah ditulis Ibundanya, berjudul Lelaki Hatiku.
Ditambah dengan 4 buah diary pribadi milik Ibundanya juga, Zahra memutuskan
membuat sebuah film tentang perjalanan cinta yang dulu dialami oleh ibunya,
tantenya, serta neneknya. Lewat tema ini, Zahra ingin menyampaikan pesan
bagaimana ibu, tante, dan neneknya memaknai cinta, dengan segala problemanya.
Ada tiga problema cinta utama dalam
novel ini. Klasik sebenarnya. Namun entah mengapa, problema itu sampai sekarang
masih sering menimpa umat manusia.
Setyani, nenek Zahra, harus ikhlas
menerima takdir bersuamikan seorang pemabuk, suka main perempuan, serta tak
sungkan menganiaya fisik istri dan anak-anaknya. Bodohkah Setyani jika ia tetap
memilih bertahan?
Linda Arum, ibunda Zahra, tak bisa
mengelak ketika dijodohkan dengan seorang dokter yang kaku. Linda menerima
perjodohan itu semata-mata hanya ingin menyenangkan hati ibundanya yang selama
ini sudah kerap menderita akibat perlakuan sang ayah. Suami Linda memang tak
seburuk ayahnya, namun ia tak pandai bersikap hangat pada sang istri. Ditambah
lagi, hingga lebih dari sepuluh tahun usia pernikahan mereka, Alloh tak kunjung
mengkaruniai momongan hingga Linda merasa gersang. Apakah memang janji indah
pernikahan itu hanya ada dalam novel?
Gwen, tante Zahra, memilih single
hingga usianya lebih dari kepala tiga. Gwen trauma melihat kehidupan rumah
tangga ibu dan ayahnya. Dan Gwen makin tak percaya bahwa pernikahan mampu
menjanjikan kebahagiaan saat menyaksikan rumah tangga kakaknya yang 'kering'.
Akankah Gwen selamanya mengelak menyempurnakan separuh Dien-nya?
Saya setuju jika novel duet ini
dikatakan cukup berani. Mengangkat tiga problema cinta sekaligus, yang uniknya
dialami oleh seorang ibu dan kedua putrinya. Meski problemanya terbilang
klasik, namun penulis mencoba memberikan sudut pandang penyelesaian yang
berbeda. Tentang mengapa Setyani memilih bertahan, tentang bagaimana akhirnya
Linda mampu menjadikan rumah tangga yang dibangunnya jauh lebih hangat, serta
tentang Gwen yang.. Ah sudahlah, saya tak mau memberi spoiler.
Dari cerita ini, kita bisa belajar,
bahwa cinta memang tak selamanya manis. Kalau boleh jujur, saya tak selalu
setuju dengan pilihan sikap yang diambil para tokoh. Pertama,Setyani yang
memilih bertahan. Jelas-jelas pilihan itu sangat merugikan, bukan hanya bagi
dirinya, tetapi juga bagi anak-anaknya. Jujur saya kesal, Ibu macam apa yang
membiarkan anaknya dipukuli sang ayah >,<. Namun demikian, saya harus
mengakui bahwa karakter seperti Setyani ini memang riil terjadi di masyarakat.
Faktanya, sangaaat banyak wanita yang memiliki suami kejam juga memilih
bertahan seperti Setyani. Memang, mengakhiri bahtera rumah tangga tentu bukan
hal yang sederhana. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Tetapi kalau
sudah keterlaluan, saya pikir lebih baik disudahi demi masa depan anak-anak.
Hal yang unik, penulis tidak menempatkan Setyani sebagai sosok yang tak punya
daya tawar. Setyani digambarkan cantik, masih memiliki orang tua yang sayang
padanya dan sebenarnya bersedia merangkul andai Setyani mau menceraikan
suaminya, dan juga kaya. Namun sayangnya Setyani tidak memanfaatkan daya tawar
tersebut. Ia malah memilih pasrah. Padahal kalau saya pikir, andai Setyani
berani tegas pada suaminya, bisa saja suaminya itu menjadi sadar karena takut
kehilangan sang istri. Secara tidak langsung, ketegasan seorang istri itu juga
bukti sayang pada suami lho. Kalaupun memang pada akhirnya sang suami sudah
susah diajak kembali ke jalan yang benar, ya setidaknya kita bisa menyelamatkan
anak-anak. Kisah dalam novel ini membuktikan, anak-anak yang dibiarkan tumbuh
dalam keluarga tak harmonis ternyata lebih rentan mengalami trauma di masa
depannya.
Pada karakter Linda (anak pertama
Setyani), mungkin trauma itu tak terlalu tampak. Linda dengan mudah mengiyakan
saat orang tuanya menjodohkan ia dengan seorang dokter. Sebenarnya, dokter yang
menjadi suami Linda ini sangat baik dan betul-betul mencintai Linda. Hanya
saja, sang dokter memiliki karakter yang kaku. Nah, kalau menurut saya, ini
juga masalah yang tidak terlalu besar andai Linda tak sungkan mengambil inisiatif.
Tak ada salahnya koq, perempuan mendahului menggombal, toh sudah berstatus
suami-istri. Saya selalu percaya, bahwa romantisme itu bukanlah sifat bawaan,
melainkan pembiasaan. Sekaku-kakunya seseorang, jika setiap hari ia digombalin
pasti lama-lama akan tergoda juga untuk balas menggombal x). Masalah yang
menurut saya lebih berat buat Linda dan suaminya justru berupa belum hadirnya
buah hati hingga usia pernikahan yang ke sepuluh. Pada poin ini, penulis menyampaikan
pesan bagaimana bersikap ikhlas serta tidak menjadi dengki pada kebahagiaan
orang lain. Memang tidak mudah. Terkadang, adaaa saja momen-momen yang tanpa
disengaja menohok perasaan Linda dan suaminya. Namun demikian, pelajaran
moralnya sangat kuat di bagian ini. Cara Linda dan suaminya melewati masa-masa
sulit mereka menurut saya sangat bagus dan patut dicontoh.
Berbeda dengan Linda yang tidak
terlalu mengalami trauma, Gwen (putri kedua Setyani) yang dari luar terlihat
keras ternyata hatinya lebih rapuh. Gwen sulit mempercayai pria. Nah, saya
merasa konflik Gwen ini masih kurang nggreget. Saya berimajinasi, andai
karakter Gwen diciptakan sebagai seorang lesbian, mungkin konfliknya akan jauh
lebih heboh. Jadi, level traumanya bukan hanya tidak percaya pada lelaki,
tetapi sudah pada tahap jijik terhadap kaum adam. Nah, pasti proses
menyadarkannya juga jauh lebih susah dan lebih menguras emosi Setyani serta
Linda. Kalau dalam konflik yang sekarang, penyelesaian masalahnya agak terlalu
mudah. Bahkan, agak terkesan 'fairy-tale' dengan bumbu mimpi papa panda Gwen.
Secara global, tiga permasalahan
yang dipaparkan penulis membuat saya sebagai pembaca diajak seimbang
dalam memperlakukan cinta. Berhati-hati di awal agar tidak salah pilih seperti
Setyani, namun juga jangan terlalu skeptis seperti Gwen karena pada hakikatnya
cinta merupakan fitrah manusia. Ketika kita sudah memilih satu cinta, kita pun
harus realistis bahwa dalam kehidupan cinta kita mungkin akan hadir ujian.
Bersikap ikhlas dan tetap saling menguatkan seperti Linda dan suaminya, itulah
jalan terbaik yang bisa kita pilih agar hati senantiasa tentram.
Dari segi cara penulisan, novel ini
lumayan enak dibaca. Bahasanya cukup baku tetapi tidak terkesan kaku. POV yang
digunakan adalah POV orang pertama dari masing-masing tokoh. POV jenis ini
tentu membuat pembaca bisa menyelami masalah dari kacamata masing-masing tokoh.
Sedikit saran, ciri bicara yang khas masing-masing tokoh perlu dipertajam
disesuaikan dengan karakternya supaya pembaca bisa langsung 'ngeh' tokoh mana
yang sedang berbicara. Penceritaan mimpi papa panda yang berulang-ulang juga
terlalu membosankan. Saya tahu bahwa penceritaan berulang-ulang itu diperlukan
karena memang temanya demikian. Namun, mungkin lebih baik jika tingkat dramatisasi
mimpinya dibuat bertahap, tidak sekedar copy paste, sehingga tidak membuat
pembaca men-skipnya.
Tentang typo, jujur saya bukan tipe
orang yang memperhatikan typo pada saat membaca novel. Namun, dalam novel ini,
saya menemukan typo yang sangat mengganggu karena berada pada halaman judul
dalam, yakni Teatrikal Hati ditulis Teaterikal Hati. Kemudian, ada jenis font
yang tidak konsisten pada bab-bab menjelang akhir. Tentu kesalahan ini sudah
menjadi ranah editor (atau percetakan ya?), sehingga tidak akan mengurangi
bintang yang saya berikan untuk novel ini.
Tiga bintang untuk tiga wanita dari
Wonosalam :).
1 komentar:
Makasih ya mbak sudah baca dan review :)
Posting Komentar
Silahkan komen :)