Aku mengingatmu, gadis
berkepang dua. Di jalan menyusuri masa kecil. Senyum manis, cinta
pertamaku. Mengingatmu adalah perjalanan panjang kembali ke buku-buku
bergaris masa sekolah dasar, pensil warna, dan mimpi-mimpi beralur
manis.
Gadis berkepang dua dengan senyum semenarik krayon warna, kau juga mengingatkanku pada takdir. Takdir yang lekat akan gemerincing denting gelang hiyang perunggu dalam iringan tetabuhan gendang, dan senandung mantra-mantra yang dengan sendirinya dapat kubaca.
Hingga bayangmu kutinggalkan dalam frame tua. Aku menemui gadis lain berwajah teduh. Gadis yang tak mengingatkanku pada takdir yang menunggu. Gadis yang membuatku tahu bahwa hidup bukan sekadar menjalani takdir yang kita tahu.
Namun, gadis berkepang dua, jalanku memutar, entah mengapa seolah ujungnya ingin menemukanmu. Senandung mantra siapa yang akan aku jelmakan, kali ini?
Gadis berkepang dua dengan senyum semenarik krayon warna, kau juga mengingatkanku pada takdir. Takdir yang lekat akan gemerincing denting gelang hiyang perunggu dalam iringan tetabuhan gendang, dan senandung mantra-mantra yang dengan sendirinya dapat kubaca.
Hingga bayangmu kutinggalkan dalam frame tua. Aku menemui gadis lain berwajah teduh. Gadis yang tak mengingatkanku pada takdir yang menunggu. Gadis yang membuatku tahu bahwa hidup bukan sekadar menjalani takdir yang kita tahu.
Namun, gadis berkepang dua, jalanku memutar, entah mengapa seolah ujungnya ingin menemukanmu. Senandung mantra siapa yang akan aku jelmakan, kali ini?
Saya pertama kali tahu ada novel
berjudul "Lampau" adalah lewat sebuah giveaway yang digelar di blog ini. Saya pun memutuskan untuk ikut karena sangat tertarik dengan sinopsisnya.
Gaya bahasa dalam sinopsis tersebut cukup puitis, dan mengingatkan saya pada
gaya bahasa Tere Liye. Saat cek goodreads, saya makin bersemangat untuk
berusaha memperoleh novel ini, karena ternyata ini bukan novel roman biasa.
Ya,novel ini mengangkat tentang adat Balian dari Kalimantan Selatan. Jujur,
baru kali ini saya mendengar istilah Balian, dan saya ingin tahu konflik apa
yang bisa diangkat oleh penulis dari adat istiadat ini hingga melahirkan sebuah
novel berjudul Lampau.
Alhamdulillah, keberuntungan sedang
berpihak pada saya. Mbak Nike, sang penyelenggara giveaway memilih jawaban ngasal
saya ini sebagai pemenangnya :
Tapi saya gak bohong lhoo hehe, saya
memang benar-benar tertarik dengan novel ini, alhasil begitu datang langsung
saya baca deh :).
Tokoh utama novel Lampau bernama Sandayuhan,
atau biasa dipanggil Ayuh. Ia terlahir di daerah Loksado, Kalimantan Selatan.
Penduduk daerah tersebut diceritakan masih sangat memegang kuat adat istiadat
leluhur mereka, suku Dayak Meratus. Namun demikian, daerah tersebut bukanlah
daerah yang sepenuhnya terisolir. Pendatang-pendatang dari luar cukup banyak
yang berkunjung, entah hanya sekedar singgah ataupun menetap. Ayuh sendiri tidak bisa dikatakan
'murni' berdarah Dayak Meratus, sebab hanya ibunya yang bernama Uli Idang yang
asli Loksado. Sedangkan ayahnya Ayuh yang bernama Genta merupakan seorang
pendatang.
Di Loksado, Uli Idang dikenal sebagai Balian yang paling sakti saat itu. Balian merupakan istilah yang berarti dukun penyembuh orang sakit. Kemampuan untuk menjadi Balian dipercaya merupakan kemampuan bawaan yang diwariskan turun-temurun. Artinya, jika salah satu orang tuamu adalah seorang Balian, maka bisa dipastikan bahwa kaupun akan memiliki kemampuan alami untuk menyembuhkan orang sakit. Hal itu pulalah yang diyakini Uli Idang terhadap Ayuh.
Di Loksado, Uli Idang dikenal sebagai Balian yang paling sakti saat itu. Balian merupakan istilah yang berarti dukun penyembuh orang sakit. Kemampuan untuk menjadi Balian dipercaya merupakan kemampuan bawaan yang diwariskan turun-temurun. Artinya, jika salah satu orang tuamu adalah seorang Balian, maka bisa dipastikan bahwa kaupun akan memiliki kemampuan alami untuk menyembuhkan orang sakit. Hal itu pulalah yang diyakini Uli Idang terhadap Ayuh.
Namun, benarkah takdir hidup Ayuh
akan mengantarkannya menjadi seorang Balian?
Novel ini menggunakan alur
maju-mundur dalam menceritakan kisah hidup Ayuh. Tapi peralihan alurnya sangat
jelas koq sehingga saya sebagai pembaca tidak dibuat pusing. Penulis menggambarkan
masa kecil Ayuh di Loksado sama seperti masa kanak-kanak pada umumnya. Ia
bersekolah. Setiap hari pergi dan pulang bersama dengan teman-temannya. Tentu
saja, karena setting tempatnya di Kalimantan Selatan, maka penulis tak lupa
mengekspose bagaimana kondisi sekolah beserta murid-muridnya disana dan
bagaimana medan yang harus ditempuh untuk mencapai sekolah tersebut. Meski
hidup di tengah keterbatasan fasilitas, namun masa kecil Ayuh cukup
menggembirakan. Ia punya 'gank' yang asyik, bahkan salah satu anggotanya cantik
hingga Ayuh didera cinta monyet.
Selain itu, Ayuh juga punya paman yang sangat
nyentrik, bernama Amang Dulalin. Mengapa saya sebut nyentrik? Sebab ia hobi
mengoleksi dan membaca buku. Di tengah-tengah masyarakat Loksado yang masih primitif,
tergila-gila pada buku tentu merupakan hal yang dianggap aneh serta terkesan
kurang kerjaan. Namun, berkat ke-nyentrik-an hobi Amang Dulalin inilah, Ayuh
tumbuh menjadi pribadi dengan mimpi yang besar. Setelah lulus SD, Ayuh bertekad
untuk melanjutkan sekolah ke kota Banjarbaru. Sayangnya, kondisi finansial
ibunya tidak cukup untuk membiayai sekolah Ayuh. Di sinilah satu poin lagi yang
saya suka. Meski Uli Idang adalah seorang Balian paling sakti, namun penulis
tidak menggambarkannya sebagai sosok yang jumawa dengan kekayaan berlimpah.
Peranan Balian lebih digambarkan sebagai peranan sosial yang sifatnya menolong
sesama.
Karena faktor biaya itulah, Uli Idang
awalnya tidak menyetujui keinginan Ayuh untuk lanjut sekolah. Ayuh ngotot. Ia
menawarkan solusi untuk sekolah di pesantren yang gratis. Tentu, Uli Idang
keberatan karena mereka bukan seorang muslim. Namun, berkat bujukan Amang
Dulalin, Uli Idang akhirnya mengizinkan.
Berbekal izin ibunya (yang sebenarnya
setengah terpaksa), Ayuh meninggalkan Laksado. Alih-alih belajar aneka mantera
pengobatan, ia justru memulai hidupnya di pesantren. Menceburkan diri dalam
kehidupan umat Muslim. Menyandang nama baru : Muhammad Sandayuhan. Namun,
sungguhkah batin Ayuh meyakini Islam?
Roda hidup Ayuh terus berputar. Beberapa
konflik terjadi, dan pusaran takdirpun akhirnya membawa Ayuh ke Jakarta. Di
kota inilah, setelah melalui lika-liku kehidupan, Ayuh akhirnya bertemu dengan
seorang gadis berparas menentramkan. Namun, seperti tertulis di sinopsisnya,
jalan hidup Ayuh rupanya tak pernah sederhana, termasuk dalam urusan cinta.
Takdir seolah ingin menggodanya,
mempertemukannya kembali dengan gadis berkepang dua, cinta monyetnya di
Loksado dulu.
Pada Alia aku menemukan sebuah keteduhan yang membuatku merasa nyaman. Sementara Ranti adalah sebuah romantisisme yang terlalu sulit untuk aku lupakan.
Untuk penggemar fanatik romance, uhhhmm, lebih baik bersiap sedikit kecewa karena porsi cerita romansa dalam novel ini terbilang sedikit. Yang saya rasakan, novel ini justru lebih banyak mengulas perjuangan hidup Ayuh. Ide cerita novel ini sangat sangat bagus. Mengangkat tentang perjuangan Ayuh untuk hidup lebih maju, mendobrak adat istiadat yang mengikat. Tokoh-tokohnya sangat manusiawi, tak ada tokoh yang diceritakan berkarakter terlalu jelek atau terlalu baik. Bahkan Ayuh sebagai tokoh utama juga tidak berkarakter sempurna, ada kelebihan dan ada kekurangannya. Tokoh Uli Idang (Ibu Ayuh) juga tidak digambarkan sebagai tokoh yang terlalu ngeyel mempertahankan adat, toh akhirnya ia mengizinkan Ayuh bersekolah, meski ia tetap berusaha membujuk Ayuh menjadi Balian.
Kekurangan novel ini buat saya hanya
satu : kurang tebal :|. Alurnya terlalu cepat, penyelesaian setiap konflik
kadang saya rasa terlalu mudah, hingga kurang mengaduk-aduk emosi saya. Contoh
simpelnya, tentang kisah cinta monyet Ayuh dan Ranti. Dalam novel, penulis
kurang mengekspose momen-momen kebersamaan mereka hingga saya sebagai pembaca
merasa aneh, koq bisa ketika dewasa Ayuh
masih teringat cinta monyetnya itu. Memang sedalam apa cinta Ayuh pada Ranti
kecil? Nah, saya justru lebih bisa merasakan kedalaman cinta Ayuh pada Ranti
dari sinopsis. Diksi pada sinopsis lebih terasa manis buat saya. Ah, tapi
kekecewaan saya terobati koq di bab-bab menjelang akhir. Penulis menggambarkan
cinta segitiga antara Ayuh, Ranti, serta Alia dalam uraian yang sangat indah.
Meski geregetan juga sih, koq cowok (eh Ayuh maksudnya #biar gak dibilang
menggeneralisir :p ) bisa ya sedemikian egois membagi hatinya.
Alia adalah perempuan dewasa pertama yang pernah ku kenal dan langsung memikatku. Namun, ia menjadi perempuan kedua yang menghuni hatiku. Sebab, aku telah menyimpan sebuah wajah sejak kecil : Ranti.
Dengan keindahan yang berbeda, tetapi seakan saling melengkapi.
Siapa yang akhirnya dipilih Ayuh? Alia, Ranti, atau tak satupun? Bagaimana Ayuh menjalani hidupnya, istiqomah dalam Islam atau memilih menjadi Balian?
Selain dua konflik itu, ada pula
konflik yang berasal dari masa lalu ayah dan ibu Ayuh, semakin menambah warna
cerita. So, overall, novel ini sangat menarik sekali untuk dibaca. Manis,
memperkaya wawasan kita akan budaya bangsa, serta menggambarkan betapa
toleransi itu nyata adanya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komen :)