Senin, 09 Desember 2013

Lampau ( Sandi Firly, 2013)







Aku mengingatmu, gadis berkepang dua. Di jalan menyusuri masa kecil. Senyum manis, cinta pertamaku. Mengingatmu adalah perjalanan panjang kembali ke buku-buku bergaris masa sekolah dasar, pensil warna, dan mimpi-mimpi beralur manis.

Gadis berkepang dua dengan senyum semenarik krayon warna, kau juga mengingatkanku pada takdir. Takdir yang lekat akan gemerincing denting gelang hiyang perunggu dalam iringan tetabuhan gendang, dan senandung mantra-mantra yang dengan sendirinya dapat kubaca.

Hingga bayangmu kutinggalkan dalam frame tua. Aku menemui gadis lain berwajah teduh. Gadis yang tak mengingatkanku pada takdir yang menunggu. Gadis yang membuatku tahu bahwa hidup bukan sekadar menjalani takdir yang kita tahu.

Namun, gadis berkepang dua, jalanku memutar, entah mengapa seolah ujungnya ingin menemukanmu. Senandung mantra siapa yang akan aku jelmakan, kali ini?

Saya pertama kali tahu ada novel berjudul "Lampau" adalah lewat sebuah giveaway yang digelar di blog ini. Saya pun memutuskan untuk ikut karena sangat tertarik dengan sinopsisnya. Gaya bahasa dalam sinopsis tersebut cukup puitis, dan mengingatkan saya pada gaya bahasa Tere Liye. Saat cek goodreads, saya makin bersemangat untuk berusaha memperoleh novel ini, karena ternyata ini bukan novel roman biasa. Ya,novel ini mengangkat tentang adat Balian dari Kalimantan Selatan. Jujur, baru kali ini saya mendengar istilah Balian, dan saya ingin tahu konflik apa yang bisa diangkat oleh penulis dari adat istiadat ini hingga melahirkan sebuah novel berjudul Lampau.
Alhamdulillah, keberuntungan sedang berpihak pada saya. Mbak Nike, sang penyelenggara giveaway memilih jawaban ngasal saya ini sebagai pemenangnya :



klik untuk memperbesar gambar :)

Tapi saya gak bohong lhoo hehe, saya memang benar-benar tertarik dengan novel ini, alhasil begitu datang langsung saya baca deh :).

Tokoh utama novel Lampau bernama Sandayuhan, atau biasa dipanggil Ayuh. Ia terlahir di daerah Loksado, Kalimantan Selatan. Penduduk daerah tersebut diceritakan masih sangat memegang kuat adat istiadat leluhur mereka, suku Dayak Meratus. Namun demikian, daerah tersebut bukanlah daerah yang sepenuhnya terisolir. Pendatang-pendatang dari luar cukup banyak yang berkunjung, entah hanya sekedar singgah ataupun menetap. Ayuh sendiri tidak bisa dikatakan 'murni' berdarah Dayak Meratus, sebab hanya ibunya yang bernama Uli Idang yang asli Loksado. Sedangkan ayahnya Ayuh yang bernama Genta merupakan seorang pendatang.

Di Loksado, Uli Idang dikenal sebagai Balian yang paling sakti saat itu. Balian merupakan istilah yang berarti dukun penyembuh orang sakit. Kemampuan untuk menjadi Balian dipercaya merupakan kemampuan bawaan yang diwariskan turun-temurun. Artinya, jika salah satu orang tuamu adalah seorang Balian, maka bisa dipastikan bahwa kaupun akan memiliki kemampuan alami untuk menyembuhkan orang sakit. Hal itu pulalah yang diyakini Uli Idang terhadap Ayuh.

Namun, benarkah takdir hidup Ayuh akan mengantarkannya menjadi seorang Balian?

Novel ini menggunakan alur maju-mundur dalam menceritakan kisah hidup Ayuh. Tapi peralihan alurnya sangat jelas koq sehingga saya sebagai pembaca tidak dibuat pusing. Penulis menggambarkan masa kecil Ayuh di Loksado sama seperti masa kanak-kanak pada umumnya. Ia bersekolah. Setiap hari pergi dan pulang bersama dengan teman-temannya. Tentu saja, karena setting tempatnya di Kalimantan Selatan, maka penulis tak lupa mengekspose bagaimana kondisi sekolah beserta murid-muridnya disana dan bagaimana medan yang harus ditempuh untuk mencapai sekolah tersebut. Meski hidup di tengah keterbatasan fasilitas, namun masa kecil Ayuh cukup menggembirakan. Ia punya 'gank' yang asyik, bahkan salah satu anggotanya cantik hingga Ayuh didera cinta monyet.

 Selain itu, Ayuh juga punya paman yang sangat nyentrik, bernama Amang Dulalin. Mengapa saya sebut nyentrik? Sebab ia hobi mengoleksi dan membaca buku. Di tengah-tengah masyarakat Loksado yang masih primitif, tergila-gila pada buku tentu merupakan hal yang dianggap aneh serta terkesan kurang kerjaan. Namun, berkat ke-nyentrik-an hobi Amang Dulalin inilah, Ayuh tumbuh menjadi pribadi dengan mimpi yang besar. Setelah lulus SD, Ayuh bertekad untuk melanjutkan sekolah ke kota Banjarbaru. Sayangnya, kondisi finansial ibunya tidak cukup untuk membiayai sekolah Ayuh. Di sinilah satu poin lagi yang saya suka. Meski Uli Idang adalah seorang Balian paling sakti, namun penulis tidak menggambarkannya sebagai sosok yang jumawa dengan kekayaan berlimpah. Peranan Balian lebih digambarkan sebagai peranan sosial yang sifatnya menolong sesama.

Karena faktor biaya itulah, Uli Idang awalnya tidak menyetujui keinginan Ayuh untuk lanjut sekolah. Ayuh ngotot. Ia menawarkan solusi untuk sekolah di pesantren yang gratis. Tentu, Uli Idang keberatan karena mereka bukan seorang muslim. Namun, berkat bujukan Amang Dulalin, Uli Idang akhirnya mengizinkan.

Berbekal izin ibunya (yang sebenarnya setengah terpaksa), Ayuh meninggalkan Laksado. Alih-alih belajar aneka mantera pengobatan, ia justru memulai hidupnya di pesantren. Menceburkan diri dalam kehidupan umat Muslim. Menyandang nama baru : Muhammad Sandayuhan. Namun, sungguhkah batin Ayuh meyakini Islam?

Roda hidup Ayuh terus berputar. Beberapa konflik terjadi, dan pusaran takdirpun akhirnya membawa Ayuh ke Jakarta. Di kota inilah, setelah melalui lika-liku kehidupan, Ayuh akhirnya bertemu dengan seorang gadis berparas menentramkan. Namun, seperti tertulis di sinopsisnya, jalan hidup Ayuh rupanya tak pernah sederhana, termasuk dalam urusan cinta. Takdir seolah ingin menggodanya,  mempertemukannya kembali dengan gadis berkepang dua, cinta monyetnya di Loksado dulu.

Pada Alia aku menemukan sebuah keteduhan yang membuatku merasa nyaman. Sementara Ranti adalah sebuah romantisisme yang terlalu sulit untuk aku lupakan.


Untuk penggemar fanatik romance, uhhhmm, lebih baik bersiap sedikit kecewa karena porsi cerita romansa dalam novel ini terbilang sedikit. Yang saya rasakan, novel ini justru lebih banyak mengulas perjuangan hidup Ayuh. Ide cerita novel ini sangat sangat bagus. Mengangkat tentang perjuangan Ayuh untuk hidup lebih maju, mendobrak adat istiadat yang mengikat. Tokoh-tokohnya sangat manusiawi, tak ada tokoh yang diceritakan berkarakter terlalu jelek atau terlalu baik. Bahkan Ayuh sebagai tokoh utama juga tidak berkarakter sempurna, ada kelebihan dan ada kekurangannya. Tokoh Uli Idang (Ibu Ayuh) juga tidak digambarkan sebagai tokoh yang terlalu ngeyel mempertahankan adat, toh akhirnya ia mengizinkan Ayuh bersekolah, meski ia tetap berusaha membujuk Ayuh menjadi Balian.

Kekurangan novel ini buat saya hanya satu : kurang tebal :|. Alurnya terlalu cepat, penyelesaian setiap konflik kadang saya rasa terlalu mudah, hingga kurang mengaduk-aduk emosi saya. Contoh simpelnya, tentang kisah cinta monyet Ayuh dan Ranti. Dalam novel, penulis kurang mengekspose momen-momen kebersamaan mereka hingga saya sebagai pembaca merasa aneh,  koq bisa ketika dewasa Ayuh masih teringat cinta monyetnya itu. Memang sedalam apa cinta Ayuh pada Ranti kecil? Nah, saya justru lebih bisa merasakan kedalaman cinta Ayuh pada Ranti dari sinopsis. Diksi pada sinopsis lebih terasa manis buat saya. Ah, tapi kekecewaan saya terobati koq di bab-bab menjelang akhir. Penulis menggambarkan cinta segitiga antara Ayuh, Ranti, serta Alia dalam uraian yang sangat indah. Meski geregetan juga sih, koq cowok (eh Ayuh maksudnya #biar gak dibilang menggeneralisir :p ) bisa ya sedemikian egois membagi hatinya.

Alia adalah perempuan dewasa pertama yang pernah ku kenal dan langsung memikatku. Namun, ia menjadi perempuan kedua yang menghuni hatiku. Sebab, aku telah menyimpan sebuah wajah sejak kecil : Ranti.

Dengan keindahan yang berbeda, tetapi seakan saling melengkapi.


Siapa yang akhirnya dipilih Ayuh? Alia, Ranti, atau tak satupun? Bagaimana Ayuh menjalani hidupnya, istiqomah dalam Islam atau memilih menjadi Balian?

Selain dua konflik itu, ada pula konflik yang berasal dari masa lalu ayah dan ibu Ayuh, semakin menambah warna cerita. So, overall, novel ini sangat menarik sekali untuk dibaca. Manis, memperkaya wawasan kita akan budaya bangsa, serta menggambarkan betapa toleransi itu nyata adanya.





0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komen :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
back to top
 

Boekenliefhebber Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Tadpole's Notez Flower Image by Dapino