Senin, 27 April 2015

[Review #12] Kata Kota Kita by Ayu Riana, Cindy Pricilla, dll




Dalam Kata Kota Kita, kita dibawa singgah dari Central Park di New York, purnama di Ankara, kemacetan di Jakarta, hingga indahnya Pantai Ora di Ambon. Dan seusai penjelajahan, kita dibuat tersenyum dan menyadari betapa kayanya kita sebagai manusia.

Kota-kota dalam kumpulan cerpen ini memberikan suaranya, menguarkan aroma, dan menunjukkan pemandangan yang ditulis dengan beragam tema, ditulis dengan beraneka gaya, mulai dari yang lincah ala MetroPop hingga mencekam ala novel horor.
Tujuh belas cerpen mengenai kota-kota yang berbeda ini menyajikan senyap dan riuh, tawa dan tangis, cinta dan kehilangan… Dan pada akhirnya membawa kita menuju kota yang menjadi tujuan pulang.
Para penulis adalah penulis yang terpilih dari Gramedia Writing Project batch 1.



Kata Kota Kita, sebuah klausa sederhana namun sangat ear-catchy. Ketika klausa ini terpilih menjadi judul buku kumpulan cerpen, dengan mudahnya mengundang saya tergoda mengetahui seperti apa isi bukunya. Kata Kota Kita, menjanjikan premis cerita di mana masing-masing kota dengan blak-blakkan berkata-kata akan kisahnya masing-masing. Kata Kota Kita, menjanjikan setting cerita yang dinamis, mulai dari lokasi yang terkenal keindahannya, hingga lokasi yang kerap dicemooh keruwetannya.


Apakah janji yang diumbar judul tersebut mampu dipenuhi oleh para penulis yang mengisi buku ini?

Ada tujuh belas cerita pendek yang dikumpulkan dalam buku Kata Kota Kita. Semuanya merupakan hasil karya 17 penulis terpilih dari proyek kepenulisan Gramedia Writing Project Batch 1. Secara garis besar, semua cerpen dalam buku ini mengangkat tema romance, walau dengan nuansa yang berbeda-beda. Ada yang manis, sedih, suram, hingga mencekam. Satu cerpen mengambil satu setting kota, ada yang di Indonesia dan ada pula yang di luar Indonesia. Sesuai paragraph pembuka review ini, saya sangat berharap sekali setiap cerpen akan meng-ekspose dengan begitu detail keunikan setiap kota, entah itu panorama alamnya, seni budayanya, atau karakteristik masyarakatnya.

Beberapa cerpen berhasil memenuhi harapan saya itu.

Seperti cerpen berjudul Let the Good Times Roll karya Emba Eff yang dengan apik membungkus cerita tentang pemberontakan anak usia remaja pada orang tuanya dengan setting perayaan Mardi Gras di New Orleans, dibumbui sedikit sudut gelap Bourbon Street serta diiringi aksen Cajun salah satu tokohnya. Tak hanya kuat di setting, cerpen ini juga kuat di pesan moral, terutama bagi remaja yang mungkin sering berselisih paham dengan para orang tuanya, akibat perbedaan persepsi dalam berkomunikasi.

Lalu ada pula cerpen berjudul Sparks karya Emilya Kusnaidi yang mengambil setting di Central Park, salah satu landmark kota New York. Di taman yang super luas itu (konon, ini adalah taman kota terluas di dunia), setiap hari pasti terjadi cerita dari para anak manusia yang berinteraksi di sana. Kali ini, cerita terjadi antara seorang gadis asal Indonesia yang bekerja di sana bernama Ayuna. Ia baru saja menerima lamaran dari kekasihnya, Eren. Tidak seperti kebanyakan gadis yang biasanya bahagia saat dilamar, Ayuna justru bimbang. Premis cerita sederhana namun menjadi menarik ketika disandingkan dengan sejumput sudut Central Park. Iya, memang cuma sejumput, tetapi menurut saya yang sejumput itu berhasil menciptakan aroma Central Park yang kuat di benak pembaca. Penulis cerpen ini berhasil membuktikan bahwa untuk menciptakan setting yang kuat tidak perlu dengan rakus menyebut banyak nama landmark. Yang terpenting adalah bagaimana menceritakan landmark itu agar seolah-olah pembaca berada di sana serta meninggalkan kesan bahwa cerita tak akan lagi sama bila penulis tidak mengambil setting di lokasi tersebut.

Cerita selanjutnya yang kuat dalam meng-eksplore setting lokasi adalah Frau Troffea yang mengangkat kesuraman epidemi menari yang pernah melanda kota Strasbourg, Perancis. Lalu, ada pula cerita Ankara di Bawah Purnama, yang dengan epik mengangkat sudut gelap Ankara Castle. Saya menangkap, cerita Ankara di Bawah Purnama ini masih mengambil framing bahwa lelaki Turki biasanya punya pesona kuat dan punya kecenderungan untuk memiliki wanita lebih dari satu. Hahaha, jadi teringat kemarin sempet ada heboh tentang rencana penayangan serial TV yang berbau-bau Sultan dari Turki itu, padahal mah sepertinya citra lelaki Turki memang demikian, tanpa perlu dikait-kaitkan dengan agama :p . Cerpen Ankara di Bawah Purnama ini sendiri sangat unik, dengan ending yang cukup nge-twist, dan menjadi salah satu favorit saya.

Selain cerita-cerita bersetting luar negeri, cerita-cerita bersetting Indonesia di buku ini pun tak kalah menariknya. Ada cerpen Ora oleh Ayu Riana. Bercerita tentang seorang istri yang memiliki suami super sibuk hingga ia merasa kesepian, dan akhirnya memutuskan untuk membunuh waktu dengan mengelola resort di Pulau Ora. Kemudian datang mantan kekasihnya berlibur di pulau itu.Tidak ada konflik yang terlalu bergejolak koq di cerpen ini. Tenang, mengalir, dan tidak ada pengkhianatan, cocok dengan setting Pulau Ora yang digambarkan ayem, nyaman, menentramkan hati. Bukti bahwa setting nge-klop dengan ceritanya.

Lalu, ada Bukan Sebuah Penyesalan oleh Orinthia Lee, mengambil setting di kos-kosan padat penduduk di Jakarta. Konfliknya tentang seorang lelaki dari keluarga broken home, dengan ayah yang suka mabuk-mabukkan dan ibu yang tidak tahan lalu berselingkuh dengan pria lain. Si anak lelaki ini kemudian sering menjadi sasaran kemarahan ayahnya. Ia tumbuh menjadi pemuda yang merasa tidak pernah diterima, dan akhirnya menjadikan narkoba sebagai pelariannya. Hingga kemudian datang seorang gadis baik-baik yang memperhatikannya, membuat si pemuda merasa punya arti lagi untuk hidup. Jujur, bukan tema ceritanya yang menarik dari cerpen ini, tetapi cara penceritaan penulis yang soft, tidak terlalu ngoyo untuk membuat drama berlebih, membuat ceritanya jadi terasa pas. Hei, ini mungkin memang konflik yang sudah sering diangkat bahkan dalam sinetron, tetapi saya percaya, di lorong-lorong sempit kota Jakarta, problem yang dialami oleh si pemuda banyak terjadi di dunia nyata.

Masih di kota Jakarta. Ada cerpen berjudul Bulungan oleh Tj. Oetoro. Bercerita tentang kilasan masa lalu, saat dua SMA Negeri besar di sana kerap bentrok, hingga menimbulkan korban jiwa. Ketika yang menjadi korban jiwa adalah sahabat kita sendiri, sejauh apa perasaan sentimental masih mendera setelah berpuluh-puluh tahun kemudian? Detailnya cerita, membuat saya jadi menduga-duga, jangan-jangan sang penulis sesungguhnya sedang bernostalgia :D.

Cerita selanjutnya datang dari Pulau Sumatera, tepatnya dari Palembang, berjudul Pohon dan Cinta karya Putra Zaman. Bercerita tentang legenda Pohon Cinta dari Pulau Kemaro. Untuk cerpen yang satu ini, gayanya lincah, khas metropop. Dari awal sampai pertengahan lucu sih, tapi endingnya agak maksain. Ketika si cewek tiba-tiba harus pergi dari Palembang karena orang tuanya meninggal akibat kecelakaan di Sulawesi, lalu si cowok mengejar ke bandara eh ternyata si ceweknya udah naik pesawat. Tebak apa yang malah dilakukan si cowok? Datang ke Pulau Kemaro dan mengukirkan nama dia di samping nama si cewek di Pohon Cinta. Saya langsung yang : what the…… *tepok jidat*. Itu si cewek lagi berduka, lo jadi cowok malah egois cuma mikirin gimana biar hubungan kalian langgeng dengan sibuk ngukir nama. Mbok ya disusul ceweknya. Beli tiket pesawat jaman sekarang sesusah apa sih? Wkwkwk. Kelanggengan hubungan lebih dijamin boys ketika kamu bisa mendampingi si cewek di saat dukanya. Tapi dari segi setting pemaparannya lumayan oke. Pesona sungai Musi dan Pulau Kemaro berhasil terbayang di kepala saat membaca cerpen ini.

Selain cerpen-cerpen di atas, cerpen-cerpen lain yang ada dalam buku ini menurut saya kurang kuat pemaparan settingnya. Selain tidak kuat dari segi setting, dari segi tema juga biasa-biasa saja. Meskipun demikian, ada pula yang dari segi setting tidak kuat, tetapi dari segi tema sangat menarik.

Contohnya di cerpen berjudul Mamon, Cintaku Padamu oleh Idawati Zhang. Berkisah tentang seorang ibu yang anaknya diadopsi paksa oleh saudaranya. Konflik cerpen ini saangat menarik dan cukup menyentuh. Setting-nya mengambil  lokasi di Semarang. Namun sebenarnya, kalaupun dipindahkan ke lokasi lain juga tidak akan berpengaruh apa-apa ke cerita. Itulah kenapa saya bilang settingnya kurang kuat :)

Lalu, cerpen paling favorit buat saya di novel ini berjudul Amerta oleh Yulikha Evitri, tentang kasus pembunuhan berantai yang terjadi di Banjarnegara (disclaimer : dasarnya saya emang hobi cerita detektif, makanya ini jadi yang paling favorit :p ). Tema ceritanya kuat, cara penceritaannya sangat menarik, tokoh-tokohnya oke, kasusnya reasonable membuat cerpen ini memang layak dibukukan. Tetapi kalau dikaitkan dengan setting cerita, lagi-lagi sama seperti cerpen Mamon, lokasi masih berkesan sebagai tempelan.

Sepuluh cerpen sudah saya bahas. Masih ada tujuh cerpen lain di buku ini, yang buat selera saya pribadi agak kurang kuat, baik di tema maupun di setting. Tujuh cerpen yang kurang saya suka itu kebanyakan mengangkat tema yang sudah banyak diangkat, dengan cara penceritaan yang kurang terasa ciri khasnya. Memang sih, membuat cerpen itu tidak mudah. Karena jumlah halamannya terbatas, Penulis jadi tidak leluasa untuk memperkenalkan lebih dalam karakter para tokohnya. Konflik juga harus bergerak cepat. Saya suka mendefinisikan bahwa cerpen yang menarik adalah cerpen yang mengandung bom di akhir. Cerpen yang membuat pembacanya memilih mengambil jeda sejenak sebelum lanjut ke cerpen selanjutnya, karena masih ingin menikmati momen bom itu.


Jika dinilai secara keseluruhan, sebagai suatu proyek kepenulisan pemula, Gramedia Writing Project cukup berhasil menghimpun bibit-bibit berbakat dalam buku Kata Kota Kita ini. Aneka variasi yang tersaji di masing-masing cerpen menunjukkan bahwa para penulisnya sangat kreatif dalam menginterpretasikan tema yang diberikan :). Namun, untuk kandungan bom-nya itu yang masih kurang terasa buat saya. Sebagai bacaan ringan di sela-sela liburan, buku ini cukup menyenangkan. Tiga dari lima bintang untuk Kata Kota Kita :). 


2 komentar:

Kreta Amura on 15 Juni 2019 pukul 05.31 mengatakan...

Sampulnya lucu juga ya, kayak semacam map gitu... bikin yang baca harus muter-muter bukunya dulu, wkwkw

Ceme on 5 Desember 2019 pukul 10.58 mengatakan...

Tujuh belas cerpen mengenai kota-kota yang berbeda ini menyajikan senyap dan riuh, tawa dan tangis, cinta dan kehilangan… Dan pada akhirnya membawa kita menuju kota yang menjadi tujuan pulang.
LukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia

Posting Komentar

Silahkan komen :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
back to top
 

Boekenliefhebber Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Tadpole's Notez Flower Image by Dapino