Dalam Kata Kota Kita, kita dibawa singgah dari Central Park di New York, purnama di Ankara, kemacetan di Jakarta, hingga indahnya Pantai Ora di Ambon. Dan seusai penjelajahan, kita dibuat tersenyum dan menyadari betapa kayanya kita sebagai manusia.
Kota-kota dalam kumpulan cerpen ini memberikan suaranya, menguarkan aroma, dan menunjukkan pemandangan yang ditulis dengan beragam tema, ditulis dengan beraneka gaya, mulai dari yang lincah ala MetroPop hingga mencekam ala novel horor.
Tujuh belas cerpen mengenai kota-kota yang berbeda ini menyajikan senyap dan riuh, tawa dan tangis, cinta dan kehilangan… Dan pada akhirnya membawa kita menuju kota yang menjadi tujuan pulang.
Para penulis adalah penulis yang terpilih dari Gramedia Writing Project batch 1.
Kota-kota dalam kumpulan cerpen ini memberikan suaranya, menguarkan aroma, dan menunjukkan pemandangan yang ditulis dengan beragam tema, ditulis dengan beraneka gaya, mulai dari yang lincah ala MetroPop hingga mencekam ala novel horor.
Tujuh belas cerpen mengenai kota-kota yang berbeda ini menyajikan senyap dan riuh, tawa dan tangis, cinta dan kehilangan… Dan pada akhirnya membawa kita menuju kota yang menjadi tujuan pulang.
Para penulis adalah penulis yang terpilih dari Gramedia Writing Project batch 1.
Kata Kota Kita, sebuah klausa
sederhana namun sangat ear-catchy.
Ketika klausa ini terpilih menjadi judul buku kumpulan cerpen, dengan mudahnya
mengundang saya tergoda mengetahui seperti apa isi bukunya. Kata Kota Kita,
menjanjikan premis cerita di mana masing-masing kota dengan blak-blakkan
berkata-kata akan kisahnya masing-masing. Kata Kota Kita, menjanjikan setting
cerita yang dinamis, mulai dari lokasi yang terkenal keindahannya, hingga
lokasi yang kerap dicemooh keruwetannya.
Apakah janji yang diumbar judul
tersebut mampu dipenuhi oleh para penulis yang mengisi buku ini?
Ada tujuh belas cerita pendek
yang dikumpulkan dalam buku Kata Kota Kita. Semuanya merupakan hasil karya 17
penulis terpilih dari proyek kepenulisan Gramedia Writing Project Batch 1.
Secara garis besar, semua cerpen dalam buku ini mengangkat tema romance, walau dengan nuansa yang
berbeda-beda. Ada yang manis, sedih, suram, hingga mencekam. Satu cerpen
mengambil satu setting kota, ada yang di Indonesia dan ada pula yang di luar
Indonesia. Sesuai paragraph pembuka review ini, saya sangat berharap sekali
setiap cerpen akan meng-ekspose dengan begitu detail keunikan setiap kota, entah
itu panorama alamnya, seni budayanya, atau karakteristik masyarakatnya.
Beberapa cerpen berhasil memenuhi
harapan saya itu.
Seperti cerpen berjudul Let the Good Times Roll karya Emba Eff
yang dengan apik membungkus cerita tentang pemberontakan anak usia remaja pada
orang tuanya dengan setting perayaan Mardi Gras di New Orleans, dibumbui
sedikit sudut gelap Bourbon Street
serta diiringi aksen Cajun salah satu tokohnya. Tak hanya kuat di setting,
cerpen ini juga kuat di pesan moral, terutama bagi remaja yang mungkin sering
berselisih paham dengan para orang tuanya, akibat perbedaan persepsi dalam
berkomunikasi.
Lalu ada pula cerpen berjudul Sparks karya Emilya Kusnaidi yang
mengambil setting di Central Park, salah satu landmark kota New York. Di taman
yang super luas itu (konon, ini adalah taman kota terluas di dunia), setiap
hari pasti terjadi cerita dari para anak manusia yang berinteraksi di sana.
Kali ini, cerita terjadi antara seorang gadis asal Indonesia yang bekerja di
sana bernama Ayuna. Ia baru saja menerima lamaran dari kekasihnya, Eren. Tidak
seperti kebanyakan gadis yang biasanya bahagia saat dilamar, Ayuna justru
bimbang. Premis cerita sederhana namun menjadi menarik ketika disandingkan
dengan sejumput sudut Central Park. Iya, memang cuma sejumput, tetapi menurut
saya yang sejumput itu berhasil menciptakan aroma Central Park yang kuat di
benak pembaca. Penulis cerpen ini berhasil membuktikan bahwa untuk menciptakan
setting yang kuat tidak perlu dengan rakus menyebut banyak nama landmark. Yang terpenting adalah
bagaimana menceritakan landmark itu
agar seolah-olah pembaca berada di sana serta meninggalkan kesan bahwa cerita tak akan lagi sama bila penulis tidak mengambil setting di lokasi
tersebut.
Cerita selanjutnya yang kuat
dalam meng-eksplore setting lokasi adalah Frau
Troffea yang mengangkat kesuraman epidemi menari yang pernah melanda kota
Strasbourg, Perancis. Lalu, ada pula cerita Ankara
di Bawah Purnama, yang dengan epik mengangkat sudut gelap Ankara Castle. Saya
menangkap, cerita Ankara di Bawah Purnama
ini masih mengambil framing bahwa
lelaki Turki biasanya punya pesona kuat dan punya kecenderungan untuk memiliki
wanita lebih dari satu. Hahaha, jadi teringat kemarin sempet ada heboh tentang
rencana penayangan serial TV yang berbau-bau Sultan dari Turki itu, padahal mah
sepertinya citra lelaki Turki memang demikian, tanpa perlu dikait-kaitkan dengan
agama :p . Cerpen Ankara di Bawah Purnama
ini sendiri sangat unik, dengan ending yang cukup nge-twist, dan menjadi salah satu favorit saya.
Selain cerita-cerita bersetting
luar negeri, cerita-cerita bersetting Indonesia di buku ini pun tak kalah
menariknya. Ada cerpen Ora oleh Ayu
Riana. Bercerita tentang seorang istri yang memiliki suami super sibuk hingga
ia merasa kesepian, dan akhirnya memutuskan untuk membunuh waktu dengan
mengelola resort di Pulau Ora. Kemudian datang mantan kekasihnya berlibur di
pulau itu.Tidak ada konflik yang terlalu bergejolak koq di cerpen ini. Tenang,
mengalir, dan tidak ada pengkhianatan, cocok dengan setting Pulau Ora yang
digambarkan ayem, nyaman, menentramkan hati. Bukti bahwa setting nge-klop
dengan ceritanya.
Lalu, ada Bukan Sebuah Penyesalan oleh Orinthia Lee, mengambil setting di
kos-kosan padat penduduk di Jakarta. Konfliknya tentang seorang lelaki dari
keluarga broken home, dengan ayah
yang suka mabuk-mabukkan dan ibu yang tidak tahan lalu berselingkuh dengan pria
lain. Si anak lelaki ini kemudian sering menjadi sasaran kemarahan ayahnya. Ia
tumbuh menjadi pemuda yang merasa tidak pernah diterima, dan akhirnya
menjadikan narkoba sebagai pelariannya. Hingga kemudian datang seorang gadis
baik-baik yang memperhatikannya, membuat si pemuda merasa punya arti lagi untuk
hidup. Jujur, bukan tema ceritanya yang menarik dari cerpen ini, tetapi cara
penceritaan penulis yang soft, tidak
terlalu ngoyo untuk membuat drama
berlebih, membuat ceritanya jadi terasa pas. Hei, ini mungkin memang konflik
yang sudah sering diangkat bahkan dalam sinetron, tetapi saya percaya, di
lorong-lorong sempit kota Jakarta, problem yang dialami oleh si pemuda banyak
terjadi di dunia nyata.
Masih di kota Jakarta. Ada cerpen
berjudul Bulungan oleh Tj. Oetoro.
Bercerita tentang kilasan masa lalu, saat dua SMA Negeri besar di sana kerap
bentrok, hingga menimbulkan korban jiwa. Ketika yang menjadi korban jiwa adalah
sahabat kita sendiri, sejauh apa perasaan sentimental masih mendera setelah
berpuluh-puluh tahun kemudian? Detailnya cerita, membuat saya jadi
menduga-duga, jangan-jangan sang penulis sesungguhnya sedang bernostalgia :D.
Cerita selanjutnya datang dari
Pulau Sumatera, tepatnya dari Palembang, berjudul Pohon dan Cinta karya Putra Zaman. Bercerita tentang legenda Pohon
Cinta dari Pulau Kemaro. Untuk cerpen yang satu ini, gayanya lincah, khas
metropop. Dari awal sampai pertengahan lucu sih, tapi endingnya agak maksain.
Ketika si cewek tiba-tiba harus pergi dari Palembang karena orang tuanya
meninggal akibat kecelakaan di Sulawesi, lalu si cowok mengejar ke bandara eh
ternyata si ceweknya udah naik pesawat. Tebak apa yang malah dilakukan si
cowok? Datang ke Pulau Kemaro dan mengukirkan nama dia di samping nama si cewek
di Pohon Cinta. Saya langsung yang : what the…… *tepok jidat*. Itu si cewek
lagi berduka, lo jadi cowok malah egois cuma mikirin gimana biar hubungan
kalian langgeng dengan sibuk ngukir nama. Mbok ya disusul ceweknya. Beli tiket
pesawat jaman sekarang sesusah apa sih? Wkwkwk. Kelanggengan hubungan lebih
dijamin boys ketika kamu bisa mendampingi si cewek di saat dukanya. Tapi dari
segi setting pemaparannya lumayan oke. Pesona sungai Musi dan Pulau Kemaro
berhasil terbayang di kepala saat membaca cerpen ini.
Selain cerpen-cerpen di atas,
cerpen-cerpen lain yang ada dalam buku ini menurut saya kurang kuat pemaparan
settingnya. Selain tidak kuat dari segi setting, dari segi tema juga
biasa-biasa saja. Meskipun demikian, ada pula yang dari segi setting tidak
kuat, tetapi dari segi tema sangat menarik.
Contohnya di cerpen berjudul Mamon, Cintaku Padamu oleh Idawati Zhang.
Berkisah tentang seorang ibu yang anaknya diadopsi paksa oleh saudaranya. Konflik
cerpen ini saangat menarik dan cukup menyentuh. Setting-nya mengambil lokasi di Semarang. Namun sebenarnya, kalaupun
dipindahkan ke lokasi lain juga tidak akan berpengaruh apa-apa ke cerita.
Itulah kenapa saya bilang settingnya kurang kuat :)
Lalu, cerpen paling favorit buat
saya di novel ini berjudul Amerta oleh
Yulikha Evitri, tentang kasus pembunuhan berantai yang terjadi di Banjarnegara
(disclaimer : dasarnya saya emang hobi cerita detektif, makanya ini jadi yang
paling favorit :p ). Tema ceritanya kuat, cara penceritaannya sangat menarik,
tokoh-tokohnya oke, kasusnya reasonable
membuat cerpen ini memang layak dibukukan. Tetapi kalau dikaitkan dengan
setting cerita, lagi-lagi sama seperti cerpen Mamon, lokasi masih berkesan sebagai tempelan.
Sepuluh cerpen sudah saya bahas.
Masih ada tujuh cerpen lain di buku ini, yang buat selera saya pribadi agak
kurang kuat, baik di tema maupun di setting. Tujuh cerpen yang kurang saya suka
itu kebanyakan mengangkat tema yang sudah banyak diangkat, dengan cara
penceritaan yang kurang terasa ciri khasnya. Memang sih, membuat cerpen itu
tidak mudah. Karena jumlah halamannya terbatas, Penulis jadi tidak leluasa
untuk memperkenalkan lebih dalam karakter para tokohnya. Konflik juga harus
bergerak cepat. Saya suka mendefinisikan bahwa cerpen yang menarik adalah
cerpen yang mengandung bom di akhir.
Cerpen yang membuat pembacanya memilih mengambil jeda sejenak sebelum lanjut ke
cerpen selanjutnya, karena masih ingin menikmati momen bom itu.
Jika dinilai secara keseluruhan,
sebagai suatu proyek kepenulisan pemula, Gramedia Writing Project cukup
berhasil menghimpun bibit-bibit berbakat dalam buku Kata Kota Kita ini. Aneka
variasi yang tersaji di masing-masing cerpen menunjukkan bahwa para penulisnya
sangat kreatif dalam menginterpretasikan tema yang diberikan :). Namun, untuk
kandungan bom-nya itu yang masih
kurang terasa buat saya. Sebagai bacaan ringan di sela-sela liburan, buku ini
cukup menyenangkan. Tiga dari lima bintang untuk Kata Kota Kita :).
2 komentar:
Sampulnya lucu juga ya, kayak semacam map gitu... bikin yang baca harus muter-muter bukunya dulu, wkwkw
Tujuh belas cerpen mengenai kota-kota yang berbeda ini menyajikan senyap dan riuh, tawa dan tangis, cinta dan kehilangan… Dan pada akhirnya membawa kita menuju kota yang menjadi tujuan pulang.
LukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia
Posting Komentar
Silahkan komen :)